Dua karya pertunjukkan Teater Monolog yang akan digelar di 3 Kota
(Maumere, Larantuka dan Lewoleba), mengangkat judul “Monologia Tubuh Yang
Palsu” dan “Saya Perempuan Biasa”, memiliki kekuatan “pamer eksistensi” yang
hendak ditawarkan kepada masyarakat (penonton) dengan berusaha membuka
ruang-ruang pemaknaan secara personal dari para penonton untuk disatukan atau
mungkin dibenturkan dengan universalitas yang ada dalam ruang publik. Dua karya
seni Monolog yang merupakan hasil kreator seniman-seniman asli NTT ini,
mengingatkan kita pada tulisan Jean
Paul Sartre tentang Neusea, keberadaan manusia yang sebenarnya adalah suatu
kenyataan sejati manusia yang nausea; suatu kenyataan hampa, kering kerontang
tanpa arti. Suatu keadaan rasa tanpa arti, hampa, senyap secara eksistensial.
Nausea yang menurut Sartre, dipandang sebagai kenyataan sejati keberadaan
seseorang begitu ia sadar bahwa semuanya cuma buatan tangannya, pikirannya,
juga kreasinya. Bila ia berhenti mengkonstruksi
realitas, ia berhadapan dengan situasi sejati eksistensi manusia yang kosong,
hampa tanpa arti. Manusia cenderung menghindarinya dengan cara membuat dirinya
sibuk mengkonstruksi kenyataan hidupnya, karena begitu “berhenti”, maka ia akan
berhadapan dengan keadaan kehampaan tanpa arti, kosong dan tidak bermakna.
“Monologia Tubuh Yang Palsu” dan “Saya
Perempuan Biasa” mengajak kita untuk melihat seni sebagai satu kekuatan otonom
dengan menciptakan situasi re-mistifikasi realitas yang kemudian, membawa kita
untuk menciptakan dunia yang palsu dan menantang definisi nyata, masuk dalam
ruang-ruang hampa tanpa arti, kosong dan tidak bermakna untuk menghadirkan
suatu kualitas persepsi kesesuaian yang universalitas, multi-interpretasi dan
berhenti pada satu titik saat pikiran kita mampu menerangi realitas tanpa harus
terganggu oleh penilaian objektifitas materi. Dua karya pertunjukkan Monolog
ini, memiliki kekuatan otonomi, yang tidak saja mengungkit pengalaman personal
terhadap re-mistifikasi realitas dari “ketokohan”, tapi juga membenturkan
persepsi pribadi terhadap kenyataan “tokoh/lakon” yang meluas di lingkungan
masyarakat. Benturan yang dinamis, menghadirkan “perang dasyat” dalam pikiran
manakala pengalaman bertolak belakang dengan konten dan penilaian sosial. Meski
pada akhirnya perang dasyat itu akan dimenangkan oleh individu, semua akan
kembali pada kehampaan, ruang yang kosong, kering kerontang tanpa arti usai
perang dasyat itu.
Pementasan ini, adalah karya yang tidak saja
melayani kebutuhan individu, tidak juga masyarakat kelas tertentu, melainkan
masyarakat secara universal melalui materi ketokohan itu sendiri yang menginspirasi
suatu keadaan “pembebasan” perceptual untuk mencapai kedalaman pengkhayatan
akan dimensi “eksistensi figural”. Penggambaran “rupa tokoh” dalam pementasan
ini tidak saja memberikan pembebasan publik terhadap penilaian “pencitraan
diri” ketokohan, tetapi juga membangkitkan dimensi “romantisme” yang akan
menghidupkan kembali ritual masa lalu, untuk kemudian disatukan dalam pemaknaan
terhadap “eksistensi ketokohan” secara publik. Publik akan terdorong untuk
memberikan penilaian-penilaian yang tidak saja melibatkan aspek psikis semata,
melainkan mengaktifkan kesadaran yang berlandaskan pada gejala/fenomenologis
yakni memberi makna yang tidak bergantung pada proses psikologis.
Organisasi Produksi:
Pimpinan Produksi :
dr. Dewa Putu Sahadewa, SpOG.
Wakil
Pimpro : Lanny Koroh
Manejer
Panggung : Abdy Keraf
Manejer
Artistik : Ragil Sukriwul
Akomodasi
& Konsumsi : Linda Tagie
Crew : Ardy Milik
& Carmelo Daniel