Selasa, 29 September 2015

LEGENDA MATA AIR LETO MATAN



                                        
Lewo Kobek Tanah Bele Tanah Kemau Riang Geka. Sebuah tempat terletak antara Lewokluo Woyon Tobo, Tanah Knilok Nape Hape (Sekarang Desa Lewokluo) dan Lewo Blepa Lolon Girek, Tanah Hala Lolon Burak (Sekarang Desa Blepanawa) hiduplah empat anak yatim piatu -- tiga laki-laki dan satu wanita—anak dari Raya Sigu Liwu Tuan Labo Bayo dan Ibu Ema Bota Bewa Inak Sabu Peni—Mereka, yakni Situ Wolo Selayu Enga (Baca: Situ Wolo), Bere Yawa Keliwu Sina (Baca: Bere Yawa), Bolok Yawa Migu Sina (Baca: Bolok Yawa) dan si bungsu wanita bernama Tonu Uto’ Wata’ Wuyo Hadun Horet (Baca: Uto Wata).
Tiga saudara laki –laki harus menganti peran sebagai ayah. Membanting tulang bekerja di ladang berburu dan mengiris tuak  (buah pohon lontar) untuk bisa makan sehari – hari. Sementara, Uto Wata mengganti peran ibunya memasak, mencari kayu, mencuci, mengambil air dan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.
Pada zaman itu di Lewo Kobek sungguh sulit mendapatkan dan menikmati air. Saban subuh, gadis –gadis dan ibu – ibu di kampung itu termasuk Uto Wata masuk keluar hutan mencari air yang sumbernya diperoleh dari embun dedauanan. Mereka mengumpul air dengan cara meresapkan embun dedaunan pada kain sarung. Sarung yang telah teresap embun kemudian diperas pada wadah penampung. Air embun dari kain sarung itulah digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di kampung itu.
Aktivitas membasahi embun dedaunan dilakukan Uto Wata setiap hari dan dari musim ke musim. Walau kadang kala ia harus pulang tanpa membawa air sedikit pun. Jika tak dapat embun, mereka terpaksa meneguk tuak melepas dahaga dan rasa haus mereka. Namun suatu siang panas dan penat Uto Wata sedang sendirian di Podok. Sebuah peristiwa tidak seperti biasanya terjadi. Anjing jantan dan betina piaraannya yang diberi nama Uri Kiwa (Jantan) dan Lango Amu (Betina) muncul dalam keadaan basah dan penuh lumpur setelah menghilang ke hutan. Peristiwa yang sama terjadi secara berulang dan hanya dilihat oleh Uto Wata. Setiap hari Uto Wata berpikir ingin mencari tahu apakah ada kemungkinan di sekitar tempat tinggal mereka ada sumber mata air.
Suatu malam Uto Wata menemukan ide. Ia menganyam dua buah ketupat kemudian diisinya dengan abu dapur hingga penuh dan digantungkan pada leher anjing peliharaannya. Pada ketupat dibuat lubang – lubang kecil dengan maksud abu dapur yang terisi dalam ketupat tercecer keluar ke tanah meninggalkan jejak yang bisa dijadikan petunjuk kemana dan dimana anjing peliharaannya pergi hingga tubuh anjing – anjing itu basah dan penuh lumpur. Setelah ketupat berisi abu dapur dikalungkan pada leher anjing-anjing peliharaannya, Uto Wata menelusuri hutan mengikuti jejak anjing tersebut. Tiga saudaranya, Situ Wolo, Bere Yawa dan Bolok Yawa sedang berada di ladang. Ia pun bergegas mengambil ‘Bliwo’ (Wadah yang terbuat dari buah labu yang dikosongkan isinya dan dikeringkan untuk mengisi air) berjalan mengikuti jejak abu- abu dapur tercecer di tanah yang dibawah anjing-anjing peliharaannya hingga sampailah di sebuah tebing, Uto Wata beristirahat.
Dari atas ketinggian, Uto Wata melihat anjing – anjingnya sedang mengais dedauanan. Penasaran, Uto Wata bergegas turun tebing dan menemui anjing –anjingnya yang sedang berguling badan di kumbangan berlumpur. Sebuah pemandangan yang tidak biasanya dan menimbulkan tanda tanya besar pada diri Uto Wata. Apa yang sedang terjadi?. Uto Wata mengorek tanah kumbangan itu sedalam pergelangan tangannya. Tak lama kemudian keluarlah air yang bersih dan jernih. Uto Wata dengan penuh semangat terus mengorek tanah kumbangan. Dalam dan semakin dalam hingga air yang keluar pun semakin banyak membentuk kolam kecil. Uto Wata meminum air dari sumber yang baru ditemukannya itu dan segera mengambil bliwo.
Setelah bliwo terisi penuh air, Uto Wata mandi di kubangan mata air tersebut. Berulang kali Uto Wata merendam tubuh lalu berjemur hingga hari menjelang petang. Uto Wata harus bergegas pulang menyiapkan makanan untuk saudara – saudaranya yang seharian bekerja di ladang. Uto Wata cepat – cepat mengambil kain sarungnya yang sebelumnya diletakkan di sebuah batu besar berada di sekitar sumber mata air tersebut. Ketika hendak melangkah ke arah batu terdengarlah bunyi gemuruh yang dahsyat. Dalam sekejap, tebing batu dihadapannya terbelah menjadi dua. Seorang pemuda tampan berdiri di tengah bongkahan batu itu dan menatapnya penuh jelih.
Uto Wata tertunduk malu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat melihat pemuda tampan itu berada di tengah bongkahan batu. “Siapa namamu?” tanya pemuda tampan itu pada Uto Wata. “Saya, Tonu Uto’ Wata’ Wuyo Hadun Horet,” katanya dengan paras wajah penuh malu. Percakapan pun terjadi antara keduanya, “Siapa Ayah Ibumu dan kamu tinggal dimana? Adakah saudara – saudaramu?.” Pertanyaan beruntun membuat Uto Wata bertanya dalam hati, siapa Pemuda yang sedang berbicara dengannya.
Ayahku Raya Sigu Liwu Tuan Labo Bayo dan ibuku Ema Bota Bewa Inak Sabu Peni. Keduanya telah meninggal. Sekarang hanya tinggal kami empat bersaudara. Tiga saudaraku Situ Wolo Selayu Enga, Bere Yawa Keliwu Sina, Bolok Yawa Migu Sina,” kata Uto Wata sambil bertanya, “Lalu, siapa kamu?.” “Kopong Sede Lewo Lein Mamun Liko Lewo Weran. Saya, Raja Dunia Gaib seantero Alam Raya. Akulah pemilik air ini. Maukah Uto Wata menjadi istriku? Saya akan memberikan air ini, sebagai belis untukmu,” kata pemuda tampan tadi.
Uto Wata mengatakan. “Bolehkah terlebih dahulu hamba tuanku meminta persetujuan saudara –saudaraku?.” “Baiklah, aku raja Kopong Sede Lewo Lein Mamun Liko Lewo Weran menunggu jawaban dari saudara –saudaramu. Mendengar kata-kata itu, Uto Wata terkesima. Matanya berbinar-binar hingga tak awas memperhatikan pemuda tampan itu. Kopong Sede Lewo Lein Mamun Liko Lewo Weran (Baca : Kopong Sede) dalam sekejab berubah rupa menjadi seekor ular.
Hari menjelang malam. Matahari beranjak pulang, Uto Wata bersama anjing piaraanya kembali ke rumah membawa air di bliwo. Dalam perjalanan pulang Uri Kiwa dan Lango Amu berlari mendahului Uto Wata. Sementara ular itu diam – diam menyelinap mengikuti jejak kaki Uto Wata. Saudara –saudaranya menanti dengan penuh cemas. Tidak seperti biasannya saudari mereka keluar rumah hingga sore dan tidak menyiapkan makanan. Uto Wata masuk rumah. Bergegas Uto Wata menuju dapur menyiapkan makanan buat saudara – saudaranya.
Uto Wata menghidangkan makanan berupa nasi, sayur dan menyuguhkan air dalam bliwo yang diambil dari sumber air yang baru ditemukan hari itu. Selesai makanan dan minuman, saudara-saudaranya bertanya kepada Uto Wata. Darimana Uto Wata mendapatkan air yang rasanya sangat sejuk dan segar, berbeda dari biasanya. Uto Wata menceritarkan semua hal yang ia alami selama seharian dari pagi hingga sore itu. Ceritera itu membuat saudara-saudaranya berlinang air mata. Sebuah perdebatan karena perbedaan pendapat antar ketiga bersaudara laki-lakinya, namun akhirnya mereka pun sepakat saudarinya menerima lamaran Kopong Sede. Sementara di luar rumah “ular yang mengikuti Uto Wata menguping dan mendengar perbincangan mereka.
Atas petujuk dalam mimpi Uto Wata dan saudara sulungnya Situ Wolo, maka saudara – saudaranya mempersiapakan gere (Sebuah balai bambu). Uto Wata mengambil sarung tenunanya berwarna coklat kemerahan bersulam siput – siput pantai berwarna putih –putih. Perhiasan gelang gading, blaon (anting emas) disiapkan. Tibalah hari nawo bine (Mengantar gadis) kepada pemuda tampan yang melamar Uto Wata. Sesampainya mereka di pinggir tebing, mata mereka tertujuh ke bawah dan melihat begitu banyak laki –laki dan perempuan. Mereka adalah manusia – manusia alam gaib yang sedang menunggu dan menyambut Uto Wata diantar saudara- saudaranya. Sementara di tengah - tengah berdiri Kopong Sede dengan pakaian kebesaranya.
Sesampainya di pinggir kolam, perasaan sedih menyelimuti saudara – saudaranya. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Uto Wata. Ia pun hanya berlinangkan air mata. Balai bambu kemudian diletakkan di tengah kolam. Selesai upacara adat nawo bine, secara bergantian Situ Wolo, Bere Yawa dan  Bolok Yawa saling bersalaman, berpelukan dengan saudarinya yang sebentar lagi akan pergi. Suasana haru menghantar kepergian saudari mereka. Uto Wata melangkah maju dan duduk di atas balai bambu yang terletak di tengah kolam didampingi Kopong Sede. Air Kolam pun semakin naik, bersamaan dengan naiknya air, Uto Wata dan Kopong Sede semakin turun ke dalam air hingga leher. Uto Wata berpesan kepada saudara – saudaranya, apabilah wajahku sudah tidak tampak lagi pada saat itu akan ada letusan dahsat. Jangan kamu lari. Tetaplah berdiri di pinggir kolam ini dan ambilah apa saja yang terapung di kolam ini, baik kleten bala klirik tonu, tale lodan kayo’ wuan (Batang kayu dan daun – daun serta tali dan buah pohon). Ambil dan simpanlah di epu Petun wutun Bunu roin peri lolon pole (Pondok Bambu). Sesudah tujuh hari baru buka untuk lihat.
Setelah menyampaikan pesan, gemuruh air menggelegar membentuk pusaran menelan Uto Wata dan Kopong Sede. Lenyaplah mahkluk Nitun Wai ke alamnya. Tak lama kemudian air mengalir dengan derasnya membawa bergelimpangan batang –batang, ranting – rating dan juga buah- buah dari pohon. Mengingat pesan saudarinya, ketiga kakak beradik ini mengambil sebatang kayu, seranting daun, seutas tali hutan, dan dua buah biji pohon. Semuanya dibawah pulang dan di disimpan di pondok bambu. Tujuh hari kemudian mereka membuka pintu pondok dan melihat batang kayu berubah menjadi Bala Wekak (Gading), seutas tali berubah menjadi lodan (kalung emas), ranting daun menjadi emas berkepala penyu dan dua buah pohon berubah menjadi sepasang blaon (anting).
Legenda Uto Wata yang rela memberi dirinya untuk kehidupan banyak orang selalu dikenang hingga kini. Semua harta warisan sejarah itu dijaga suku Lewo Lein dan disimpan di Rumah Adat (Korke) Suku Lewo Lein di Lewokluo. ***
------------------------------------------------------------------------------
---- Mata Air “Leto Matan”: Oleh masyarakat Flotim dikenal air Bama, karena mata air Leto Matan mengalir hingga Bama. Sesungguhnya mata air Leto Matan berlokasi di Desa Blepanawa (Wilayah Administratif Pemerintahan Flores Timur). Secara Adat  berada dalam wilayah Lewokluo. Sekarang mata air ini Leto Matan, menjadi sumber utama akan air bersih bagi masyarakat Kota Larantuka.
Narasumber : Ignas Igo Beribe dan Yoseph Home Lein




(Oleh : Maksimus Masan Kian, S.Pd)