Selasa, 12 April 2016

SEKILAS TENTANG PERTUNJUKKAN .“Monologia Tubuh Yang Palsu” dan “Saya Perempuan Biasa”

Dua karya pertunjukkan Teater Monolog yang akan digelar di 3 Kota (Maumere, Larantuka dan Lewoleba), mengangkat judul “Monologia Tubuh Yang Palsu” dan “Saya Perempuan Biasa”, memiliki kekuatan “pamer eksistensi” yang hendak ditawarkan kepada masyarakat (penonton) dengan berusaha membuka ruang-ruang pemaknaan secara personal dari para penonton untuk disatukan atau mungkin dibenturkan dengan universalitas yang ada dalam ruang publik. Dua karya seni Monolog yang merupakan hasil kreator seniman-seniman asli NTT ini, mengingatkan kita pada tulisan Jean Paul Sartre tentang Neusea, keberadaan manusia yang sebenarnya adalah suatu kenyataan sejati manusia yang nausea; suatu kenyataan hampa, kering kerontang tanpa arti. Suatu keadaan rasa tanpa arti, hampa, senyap secara eksistensial. Nausea yang menurut Sartre, dipandang sebagai kenyataan sejati keberadaan seseorang begitu ia sadar bahwa semuanya cuma buatan tangannya, pikirannya, juga kreasinya. Bila ia berhenti mengkonstruksi realitas, ia berhadapan dengan situasi sejati eksistensi manusia yang kosong, hampa tanpa arti. Manusia cenderung menghindarinya dengan cara membuat dirinya sibuk mengkonstruksi kenyataan hidupnya, karena begitu “berhenti”, maka ia akan berhadapan dengan keadaan kehampaan tanpa arti, kosong dan tidak bermakna.

“Monologia Tubuh Yang Palsu” dan “Saya Perempuan Biasa” mengajak kita untuk melihat seni sebagai satu kekuatan otonom dengan menciptakan situasi re-mistifikasi realitas yang kemudian, membawa kita untuk menciptakan dunia yang palsu dan menantang definisi nyata, masuk dalam ruang-ruang hampa tanpa arti, kosong dan tidak bermakna untuk menghadirkan suatu kualitas persepsi kesesuaian yang universalitas, multi-interpretasi dan berhenti pada satu titik saat pikiran kita mampu menerangi realitas tanpa harus terganggu oleh penilaian objektifitas materi. Dua karya pertunjukkan Monolog ini, memiliki kekuatan otonomi, yang tidak saja mengungkit pengalaman personal terhadap re-mistifikasi realitas dari “ketokohan”, tapi juga membenturkan persepsi pribadi terhadap kenyataan “tokoh/lakon” yang meluas di lingkungan masyarakat. Benturan yang dinamis, menghadirkan “perang dasyat” dalam pikiran manakala pengalaman bertolak belakang dengan konten dan penilaian sosial. Meski pada akhirnya perang dasyat itu akan dimenangkan oleh individu, semua akan kembali pada kehampaan, ruang yang kosong, kering kerontang tanpa arti usai perang dasyat itu. 


Pementasan ini, adalah karya yang tidak saja melayani kebutuhan individu, tidak juga masyarakat kelas tertentu, melainkan masyarakat secara universal melalui materi ketokohan itu sendiri yang menginspirasi suatu keadaan “pembebasan” perceptual untuk mencapai kedalaman pengkhayatan akan dimensi “eksistensi figural”. Penggambaran “rupa tokoh” dalam pementasan ini tidak saja memberikan pembebasan publik terhadap penilaian “pencitraan diri” ketokohan, tetapi juga membangkitkan dimensi “romantisme” yang akan menghidupkan kembali ritual masa lalu, untuk kemudian disatukan dalam pemaknaan terhadap “eksistensi ketokohan” secara publik. Publik akan terdorong untuk memberikan penilaian-penilaian yang tidak saja melibatkan aspek psikis semata, melainkan mengaktifkan kesadaran yang berlandaskan pada gejala/fenomenologis yakni memberi makna yang tidak bergantung pada proses psikologis.

Organisasi Produksi:
Pimpinan Produksi             : dr. Dewa Putu Sahadewa, SpOG.
Wakil Pimpro                     : Lanny Koroh
Manejer Panggung             : Abdy Keraf
Manejer Artistik                 : Ragil Sukriwul
Akomodasi & Konsumsi    : Linda Tagie
Crew                                   : Ardy Milik & Carmelo Daniel