Rabu, 27 September 2017

Agus Boli: Gerakan Literasi Membangun Karakter

Gerakan literasi sesungguhnya tidak hanya baca dan tulis, literasi merupakan gerakan membangun karakter. Literasi bisa menjadi warisan untuk generasi bangsa yang akan datang.  Mengapa secara nasional, gerakan ini terus digiatkan karena memberikan dampak positif dalam pengembangan seluruh potensi dan kemampuan untuk dapat dimanfaatkan  pembangunan bangsa dan daerah.Literasi, tidak saja membaca kata, namun membaca dunia. Literasi dapat memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian, meningkatkan hasil pertanian, juga bisa menciptakan keamanaan. Hal ini disampaikan Agustinus Payong Boli, Wakil Bupati Flores Timur dalam diskusi seputar Literasi di Kota Larantuka, Rabu (27/9/17)
            Agus Boli pada kesempatan itu, mengatakan, untuk melakukan sebuah gerakan, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau komunitas, tentu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Butuh kesabaran dalam menghadapi setiap kesulitan atau tantangan. Terlebih jika gerakan itu dilakukan secara swadaya murni, tentu pikiran, tenaga, waktu dan bahkan materi tercurah untuk gerakan itu. “Untuk melakukan sebuah gerakan, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau komunitas tidak mudah seperti yang dibayangkan.Butuh kesabaran dalam menghadapi setiap kesulitan atau tantangan.Terlebih jika gerakan itu dilakukan secara swadaya murni. Tentu pikiran, tenaga, waktu dan bahkan materi tercurah  untuk gerakan itu,”kata Agus.
            Kepada Asosasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Cabang Flores Timur yang selama ini dalam aksi aksi kecil menghidupkan gerakan literasi di Flores Timur, Agus Boli berpesan, semoga terus dijalankan. Bahwa proses yang dilalui saat ini, tidak langsung meperoleh hasil, tetapi dalam keyakinan, hasil yang diperoleh tidak akan mengkhianati proses yang telah dilalui. “Kepada teman – teman Agupena Flotim, teruslah berkreasi, berjuang menghidupkan gerakan ini. Teruslah berproses karena karena dalam keyakinan, hasil yang diperoleh nanti tidak akan  mengkhianati proses yang telah dilalui. Sebuah gagasan bernilai saat gagasan itu terealisir dalam gerakan nyata, teruslah bergerak,”pesan Agus Boli(Maksimus Masan Kian)



Minggu, 24 September 2017

Di Tempat Ini, Ikannya segar dan Harga Murah


Kabupaten Flores Timur (Flotim) terkenal dan dikenal sebagai kabupaten yang kaya akan ikan. Berbagai jenis ikan segar dengan mudah diperoleh. Kondisi ini didukung oleh laut luasnya wilayah laut Flores Timur, adanya Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Kecamatan Amagarapati, juga tersediannya kapal motor lokal yang digunakan untuk menangkap ikan. Umumnya Larantuka Ibu Kota Kabupaten Flores Timur tidak kesulitan ikan. Kecuali pada musim barat.

Pasar Inpres Larantuka, dan TPI dijadikan sebagai tempat utama untuk menjual ikan. Beberapa titik lain yang juga digunakan untuk menjual ikan adalah di emperan pertokoan, Pasar Senja Lebao, Pantai Besar, di depan percetakan ketapang, Balela, Lewolere, Oka, dan Delang Desa Tiwatobi.

Baru – baru ini, kurang lebih dua minggu yang lalu muncul lagi satu tempat baru yang juga cukup strategis untuk menjual ikan, yakni di Meting Doeng. Lokasinya di arah timur jalan menuju ke Bandara Gewayan Tanah. Hampir setiap hari sejak jam 06.00 pagi, nelayan sudah ada di pesisir pantai menjajakan ikan hasil tangkapannya.
Awalnya, belum ramai pembeli karena tempat ini baru saja muncul sebagai tempat penjualan ikan. Namun akhir akhir ini mulai ramai dikunjungi oleh pembeli. Selain masyarakat biasa, tak ketinggalan pegawai yang melintas di jalan ini singgah untuk membeli. Satu ikat terdiri dari 4-5 ekor terjual dengan harga Rp. 20.000. Sementara 7-8 ekor dijual dengan harga Rp. 50.000. Dalam waktu sekejab, ikan yang tersedia habis terbeli. Pantai meting doeng selalu ramai.Kisaran jam 06.00- 09.00 Wita.

Kris Hewen salah satu pembeli, Minggu (24/9/17) ditemui di lokasi, mengatakan ikan yang dijual di meting doeng segar – segar dan murah. Hal itulah yang mendorong warga Watowiti ini selalu membeli ikan di Meting Doeng. “Ikan di sini segar – segar karena malam ditangkap (ditembak) paginya dijual. Selain segar, kami memilih tempat ini karena harganya murah. Jika harga ikan di tempat ini Rp. 20.000 untuk 4-5 ekor, di pasar bisa terjual dengan harga Rp. 50.000 atau bahkan lebih. Setiap hari kami membeli 2 ikat. Paling enak kalau dibakar, karena ikannya segar- segar,” kata Maria.

Nelayan yang menjual ikan di Meting Doeng adalah nelayan dari Kabupaten Alor. Cara menangkap ikan adalah dengan cara menembak dan membuang pukat. Mereka menangkap ikan sepanjang malam, dan siangnya di jual kepada warga Flores Timur (Flotim). Nelayan Flotim juga bisa melakukan hal yang sama, karena minat pembeli cukup tinggi. Artinya, dapat meningkatkan pendapatan nelayan dari Flores Timur,  karena laut Flores Timur sangat luas.(Maksimus Masan Kian)


OPINI: Sekolah Ramah Anak (Selip Gagas Untuk Momen Outdoor Classroom Day)

SEKOLAH RAMAH ANAK
(Selip Gagasan Untuk Momen Outdoor Classroom Day)
Oleh
Anselmus Atasoge
(Mahasiswa UIN Sunan)

Kalijaga Yogyakarta 7 September 2017 menjadi hari spesial bagi ‘dunia pendidikan’ kita. Ada sekitar 1.965.333 anak yang tersebar di ribuan sekolah di seluruh dunia mengadakan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Classroom) sembari memprioritaskan waktu untuk ‘bermain’. Dalam skala nasional Indonesia, aktivitas ini dilaksanakan oleh 2.168 satuan pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga SLTA pada 18 propinsi, dengan melibatkan 341.772 anak (Kompas, 8 September 2017).

Secara umum, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas Outdoor Classroom Day. Pertama, meningkatkan kesehatan anak. Kedua, melibatkan anak dalam pembelajaran. Ketiga, mendorong keterikatan anak pada alam. Di sana ada unsur sanitas, partisipatif-kolaborasi dan ekologis.

Pada tataran yang lebih eksistensial-fundamental, aktivitas Outdoor Classroom mengemban misi pembentukan, penguatan dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Landasan hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Insan pendidikan tentu menyambut baik peraturan ini. Namun, peraturan ini bukanlah jawaban akhir dari seluruh persoalan melemahnya perhatian lembaga pendidikan terhadap pendidikan karakter anak di sekolah dan ‘terganggunya’ etika-moral anak-anak bangsa Indonesia. Sejatinya, peraturan itu lahir sebagai pembuka ruang untuk terciptanya sinergisitas antara sekolah, keluarga, lingkungan dan atau komunitas-komunitas pemerhati dunia pendidikan.

Hemat saya, untuk konteks Flores Timur, peraturan ini akan ‘disambut riang’ dengan sedikit gumaman ‘puji Tuhan-syukur alhamdullilah’ oleh komunitas-komunitas pemerhati dunia pendidikan seperti Komunitas Agupena yang dipimpin Maksimus Masan Kian, seorang guru muda-energik yang aktif dengan ‘gerakan literasi’ keliling Flotim atau Simpa Sio Institut yang dikoordinir Fransiskus Padji Tukan, seorang anak muda Larantuka yang bersama saudari-saudarinya memanfaatkan teras rumah mereka sebagai tempat mendongeng bagi anak-anak sekampung mereka. Ruang bagi mereka terbuka lebar apalagi jika sekolah-sekolah mulai membuka ‘gerbang lembaga’, plus ‘gerbang kebaikan hati’ untuk menerima sesuatu yang baru dari ‘dunia luar’ ini.
Namun, idealisme ini tidak sekali jadi. Butuh kerja keras dan komitmen semua komponen di sekolah dan komunitas-komunitas lainnya. Seperti apa ‘kurikulumnya’, butuh kajian mendalam. Tidak sekedar undang komunitas ini komunitas itu untuk meramaikan halaman-halaman terbuka di sekolah dengan satu dua aktraksi yang aktraktif sekedar menarik mata ‘penontonnya’ yang sontak gembira-ria tanpa tak ingat satupun substansi aktraksi itu.
Perubahan paradigma adalah salah satu di antara komitmen dan kerja keras itu. Salah satu perubahan paradigma itu adalah pembalikan patokan orientasi dalam proses pembelajaran dari ‘sesuatu yang berada di luar peserta didik kepada peserta didik itu sendiri. Dari peserta didik yang hadir sebagai ‘objek’ kepada yang hadir sebagai ‘subjek’!
 John Dewey, seorang filsuf dari Amerika Serikat, aliran pragmatisme memberikan catatan tajamk terhadap sistem sekolah yang masih memandang peserta didik sebagai objek pasif dalam proses pembelajaran. Baginya, dalam sistem sekolah macam itu, pusat perhatian berada di luar anak, seperti guru, buku dan teks-teks bacaan yang pada umumnya jauh dari pengalaman hidup anak-anak. Di dalam kelas, anak boleh jadi duduk sopan mendengarkan kisah-kisah dramatik sang guru atau success story iptek-teknologis di belahan dunia lain yang jauh dari pengalaman empiris anak-anak. Kegagahan sang guru berbarengan dengan kekaguman semu anak didik bisa jadi membuat anak-anak semakin menjadi asing di sekolahnya. Mereka boleh jadi menjadi asing dengan apa yang dipelajarinya sebab isi pelajarannya teramat jauh dari pengalaman konkretnya. Mereka teralienasi dari dunianya sebab mereka hanya bisa duduk mendengar dan menghafal kisah-kisah itu.
Penguatan Pendidikan Karakter melalui Outdoor Classroom bagi anak-anak di sekolah membutuhkan ‘tempat dan suasana’: Sekolah yang Ramah terutama yang Ramah Anak. Dengan kata lain, lingkungan sekolah yang ramah untuk anak-anak menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program pendidikan karakter.
Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang membangun komitmen secara sadar untuk berjuang menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Pasal 4 UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mencatat bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam konteks dunia pendidikan, Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2013 pasal 1 menyebutkan bahwa pemenuhan Hak Pendidikan Anak adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik pada usia anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejatinya, Sekolah Ramah Anak menciptakan suasana yang kondusif agar anak merasa nyaman dan dapat mengekspresikan potensinya. Agar suasana konduksif tersebut tercipta, salah satu aspek yang perlu diperhatikan penciptaan dan pengembangan program sekolah yang sesuai.
Program sekolah seharusnya disesuaikan dengan dunia anak terkhusus disesuaikan dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak tidak harus dipaksakan ‘melakukan sesuatu’ melainkan dengan program tersebut anak ‘secara otomatis’ termotivasi untuk mengeksplorasi dirinya. Faktor penting yang perlu diperhatikan sekolah adalah partisipasi aktif anak terhadap kegiatan yang diprogramkan itu. Dan, partisipasi itu bertumbuh, hidup dan berkembang karena sesuai dengan kebutuhan anak.
Menurut Akhmad Solihin, untuk konteks anak-anak pada tingkat PAUD dan SD, program sekolah lebih menekankan pada fungsi dan sedikit proses. Bukan pada produk atau hasil. Baginya, produk hanyalah sebuah konsekuensi dari fungsi. Karenanya, apapun program sekolah yang lengkap dengan aktivitasnya diharapkan tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan fisik, mental, maupun sosialnya. Dengan dan melalui aktivitas bermain misalnya, kualitas-kualitas fisik, mental dan sosial anak dapat difungsikan secara serempak. Di sisi lain, nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki anak juga dapat terbina sebagai dampak partisipasi aktif anak.
Untuk menggapai impian itu, sekolah-sekolah harus memiliki kekuatan. Kekuatan sekolah terutama pada kualitas guru, tanpa mengabaikan faktor lain. Di sekolah, guru memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu. Untuk di SD dan TK, guru harus memiliki minimal tiga potensi, yaitu: (1)memiliki rasa kecintaan kepada anak (Having sense of love to the children); (2) memahami dunia anak (Having sense of love to the children); dan (3) mampu mendekati anak dengan metode yang tepat (Having appropriate approach).
Kompas, 8 September 2017 dan juga media-media lain, tak memberikan catatan detail tentang propinsi-propinsi mana sajakah yang melaksanakan aktivitas Outdoor Classroom Day. Semoga Nusa Tenggara Timur salah satu di antaranya, terkhusus di Flores-Lembata. Akan tetapi, jika NTT tidak menjadi salah satu di antaranya, kita akan tetap ‘berbangga hati’ sebab tanpa pencanangan Outdoor Classroom Day dan segala aktivitasnya, kita sudah ‘akrab’ dengan Outdoor Classroom itu. Kita berharap, keakraban itu lahir dari program dan rencana yang matang dan bukannya karena kita tak punya ruang kelas untuk bisa digunakan sebagai ‘ruang belajar’. Dan, sekiranya impian akan Sekolah Ramah Anak bukan menjadi sebuah ‘kuk’ baru yang diletakkan pada pundak sekolah-sekolah kita sebab sejatinya kita adalah makluk dengan kondrat eksistensial sebagai manusia yang dapat mengenal dirinya secara utuh karena dalam dirinya bersemayam “Roh Ilahi” yang meresap dalam keseluruhan “jiwanya”, kata St. Agustinus. Roh Ilahi itulah yang membuat manusia mampu mencintai diri dan sesamanya serta membuat manusia merasa tenang, damai dan aman. (Ansel Atasoge –Ketua Seksi Pendidikan dan Pelatihan)

Sabtu, 23 September 2017

Tambak Garam Waro Desa Halakodanuan Digagas oleh 4 Ibu Rumah Tangga




Mengisi akhir pekan, Sabtu (23/9/17) kami mengunjungi salah satu tambak garam tepatnya di Pantai Waro, Desa Halakodanuan, Kecamatan Ilemandiri. Lokasi persis di pinggir kanan  jalan utama arah dari Kota Larantuka menuju Tanjung Bunga. Kurang lebih 14 Km dari Kota Larantuka.
Di lokasi, kami bertemu dengan 4 Ibu Rumah Tangga (RT) penggagas tambak garam ini. Mereka diantaranya Katarina Kerans (50), Rosa Piran (48), Maria Badin (70) dan Maria Tukan (76). Keempat ibu ini menjalankan usahanya sejak bulan Agustus 2017. Berangkat dari kondisi alam yang kurang mendukung untuk berkebun, ditambah kebutuhan ekonomi yang setiap hari harus dipenuhi, termasuk beban biaya sekolah anak. “Peluang penghasilan dari berkebun sangat kecil. Alam kurang mendukung. Di kebun ada jambu mente namun pada musim tertentu tidak berbuah. Sementara kebutuhan ekonomi harus dipenuhi setiap harinya. Ini yang mendorong kami berinisiatif secara swadaya untuk membuka usaha tambak garam di tempat ini.

Setiap pagi pukul 07.00 Wita, kecuali pada hari Minggu, mereka sudah tiba di lokasi. Tugas Mama Maria Tukan mengumpulkan kayu. Sementara Mama katarina, Rosa Piran dan Maria Badin mengumpulkan tanah yang digunakan untuk menyaring air laut. Keempat ibu yang suaminya adalah petani ini nampak kompak dan ceria menjalankan pekerjaan mereka. Ada tiga tempat yang dibuat pada tiga sudut berbeda untuk menyimpan tanah (tanah pesisir bukan pasir) pada wadah yang disiapkan. Wadah itu terbuat dari anyaman daun lontar dan alasnya dibuat empat tiang. Bagian bawahnya berbentuk keruncut. Wadah tersebut diisi dengan tanah hingga rata. Air laut yang dicedok ditungkan di wadah ini. Dibagian bawah diletahkan ember untuk menampung resapan air pada wadah di atasnya. Setelah air laut tersaring, dipindahkan pada tempat berikutnya yang juga berjumlah tiga. Wadah ini terbuat dari seng polos berbentuk persegi. Diwadah ini akan diisi dengan air resapan pada wadah pertama tadi, dan dipanaskan dengan api. Kurang lebih tiga jam lamanya, menunggu hingga garam terbentuk. Setelah garam terbentuk (airnya mengering) dicedok ke dalam satu wadah lagi tidak jauh dari tungku ini, hingga mengering. Pada bagian ini, garam sudah bisa dinikmati.
Mama Rosa menuturkan, setiap hari, garam yang dihasilkan maksimal dua karung ukuran 20kg. Garam dijual di Pasar Inpres Larantuka dengan harga 10kg Rp. 150.000.”Kalau diantara kami berempat tidak ada halangan misalnya sakit atau urusan keluarga, setiap hari garam yang kami hasilkan maksimal dua karung,ukurang 20kg. Garam kemudian dijual di Pasar Inpres Larantuka dengan  harga Rp.150.000/ 1 karung. Sehingga dalam satu hari, pendapatan kami Rp. 300.000. Hasil yang ada, kami bagi berempat dan sedikit kami sisihkan untuk kebutuhan kami setiap hari, ‘tutur Rosa. 

Garam yang sudah dijual, oleh pembeli pertama dapat menjualnya kembali dengan  ukuran satu rantang seharga Rp. 5000. Namun jika ada yang membeli langsung di lokasi, dilayani dan takarannya lebih banyak dari biasannya. Garamnya asli, bersih dan putih.
Maria Badin mengatakan, hasil penjualan garam, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga untuk membiayai pendidikan anak anak mereka yang saat ini duduk di bangku SMP. “Rejeki yang kami dapat dari usaha ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga untuk membiayai pendidikan anak anak kami yang saat ini duduk di bangku SD dan SMP. Karena keterbatasan biaya, anak anak kami sebelumnya tidak sempat kuliah. Kami berharap dengan menekuni usaha ini, ke depannya bisa kami manfaatkan untuk membiayai anak dan cucu kami yang saat ini di bangku SD, SMP, kata Maria.
Ada secuil harapan untuk pemerintah daerah, jika ada pos anggaran untuk mendukung usaha usaha swadaya masyarakat seperti ini dapat direalisasikan, sebagai dukungan dalam meningkatkan pendapatan. “Usaha kami ini swadaya dan serba terbatas. Jika ada pos anggaran untuk mendukung usaha usaha swadaya masyarakat seperti ini semoga dapat direalisasikan, juga untuk kami, sebagai dukungan dalam meningkatkan pendapatan, misalnya membantu menyiapkan fasilitas yang lebih moderen dan juga membantu membuat kemasan yang lebih menarik untuk mendorong warga membeli garam di tempat ini,tutur Maria. (Maksimus Masan Kian)