Lewo Kobek Tanah Bele Tanah Kemau Riang Geka. Sebuah tempat terletak antara Lewokluo Woyon Tobo, Tanah
Knilok Nape Hape (Sekarang Desa Lewokluo) dan Lewo Blepa Lolon Girek, Tanah Hala Lolon
Burak (Sekarang Desa Blepanawa)
hiduplah empat anak yatim piatu -- tiga laki-laki dan satu wanita—anak dari Raya
Sigu Liwu Tuan Labo Bayo dan Ibu Ema Bota Bewa Inak Sabu Peni—Mereka, yakni Situ Wolo Selayu
Enga (Baca: Situ Wolo), Bere Yawa Keliwu Sina (Baca: Bere Yawa),
Bolok Yawa Migu Sina (Baca: Bolok Yawa) dan
si bungsu wanita bernama Tonu
Uto’ Wata’ Wuyo Hadun Horet
(Baca: Uto Wata).
Tiga saudara laki –laki
harus menganti peran sebagai ayah. Membanting
tulang bekerja di ladang berburu dan mengiris tuak (buah
pohon lontar) untuk
bisa makan sehari – hari. Sementara, Uto Wata mengganti
peran ibunya memasak, mencari kayu, mencuci,
mengambil air dan pekerjaan ibu rumah
tangga lainnya.
Pada zaman itu di Lewo Kobek sungguh sulit mendapatkan dan menikmati air.
Saban subuh, gadis –gadis dan ibu
– ibu di kampung itu termasuk Uto
Wata masuk keluar hutan
mencari air yang sumbernya diperoleh dari embun dedauanan. Mereka mengumpul air dengan cara meresapkan embun dedaunan pada kain sarung.
Sarung yang telah teresap embun kemudian diperas pada
wadah penampung. Air embun dari kain sarung itulah digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di kampung itu.
Aktivitas membasahi
embun dedaunan dilakukan Uto Wata setiap hari dan dari musim ke
musim. Walau kadang kala ia harus pulang tanpa
membawa air sedikit pun.
Jika tak dapat embun, mereka terpaksa meneguk tuak melepas dahaga dan rasa haus mereka. Namun suatu siang panas dan penat Uto
Wata sedang sendirian di Podok. Sebuah peristiwa tidak seperti biasanya terjadi. Anjing jantan dan betina piaraannya yang
diberi nama Uri Kiwa (Jantan) dan Lango Amu (Betina) muncul dalam keadaan
basah dan penuh lumpur setelah menghilang ke hutan. Peristiwa yang sama terjadi secara berulang dan hanya
dilihat oleh Uto Wata. Setiap hari Uto
Wata berpikir ingin mencari tahu apakah ada kemungkinan di
sekitar tempat tinggal mereka ada sumber mata air.
Suatu malam Uto Wata
menemukan ide. Ia
menganyam dua buah ketupat kemudian diisinya dengan abu dapur hingga penuh dan digantungkan pada leher anjing peliharaannya.
Pada ketupat dibuat lubang
– lubang kecil dengan maksud abu dapur yang terisi dalam ketupat tercecer
keluar ke tanah meninggalkan jejak yang
bisa dijadikan petunjuk kemana dan dimana anjing peliharaannya pergi hingga tubuh
anjing – anjing itu basah dan penuh lumpur. Setelah ketupat berisi abu dapur
dikalungkan pada leher anjing-anjing peliharaannya, Uto
Wata menelusuri hutan mengikuti jejak anjing tersebut. Tiga saudaranya, Situ
Wolo, Bere Yawa dan Bolok Yawa sedang berada di ladang. Ia pun bergegas mengambil
‘Bliwo’ (Wadah yang terbuat dari buah labu yang dikosongkan isinya dan
dikeringkan untuk mengisi air) berjalan mengikuti jejak abu- abu dapur tercecer
di tanah yang dibawah anjing-anjing peliharaannya hingga sampailah
di sebuah tebing, Uto Wata beristirahat.
Dari atas
ketinggian, Uto
Wata melihat anjing – anjingnya sedang mengais
dedauanan. Penasaran, Uto
Wata bergegas turun tebing dan menemui anjing –anjingnya yang sedang berguling badan di kumbangan
berlumpur. Sebuah
pemandangan yang tidak biasanya dan
menimbulkan tanda tanya
besar pada diri Uto Wata. Apa
yang sedang terjadi?. Uto Wata mengorek tanah
kumbangan itu sedalam
pergelangan tangannya. Tak lama kemudian
keluarlah air yang
bersih dan jernih. Uto Wata dengan penuh semangat terus
mengorek tanah kumbangan. Dalam dan semakin dalam hingga air yang keluar
pun semakin banyak membentuk kolam kecil. Uto Wata meminum air dari
sumber yang baru ditemukannya itu dan segera
mengambil bliwo.
Setelah bliwo terisi
penuh air, Uto Wata mandi di kubangan mata air tersebut. Berulang
kali Uto Wata merendam tubuh lalu berjemur
hingga hari menjelang petang. Uto Wata harus bergegas pulang menyiapkan
makanan untuk saudara – saudaranya yang seharian
bekerja di ladang. Uto Wata cepat – cepat mengambil kain sarungnya yang sebelumnya diletakkan di sebuah batu besar berada di sekitar
sumber mata air tersebut. Ketika
hendak melangkah ke arah batu terdengarlah
bunyi gemuruh yang dahsyat. Dalam
sekejap, tebing batu
dihadapannya terbelah menjadi dua.
Seorang pemuda tampan berdiri di tengah bongkahan batu itu dan menatapnya penuh
jelih.
Uto Wata tertunduk malu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat melihat pemuda
tampan itu berada di tengah bongkahan batu. “Siapa namamu?” tanya pemuda tampan
itu pada Uto Wata. “Saya, Tonu Uto’ Wata’ Wuyo Hadun Horet,” katanya dengan paras wajah penuh malu. Percakapan pun
terjadi antara keduanya, “Siapa Ayah Ibumu dan
kamu tinggal dimana? Adakah saudara – saudaramu?.” Pertanyaan beruntun membuat Uto Wata
bertanya dalam hati, siapa
Pemuda yang sedang berbicara dengannya.
“Ayahku Raya Sigu Liwu
Tuan Labo Bayo dan ibuku Ema Bota Bewa Inak Sabu Peni. Keduanya telah
meninggal. Sekarang hanya tinggal kami empat bersaudara. Tiga saudaraku Situ
Wolo Selayu Enga, Bere Yawa Keliwu Sina, Bolok Yawa Migu Sina,” kata Uto Wata sambil bertanya, “Lalu, siapa kamu?.” “Kopong
Sede Lewo Lein Mamun Liko Lewo Weran. Saya,
Raja Dunia Gaib seantero Alam Raya. Akulah pemilik air ini.
Maukah Uto Wata menjadi istriku? Saya akan memberikan air ini, sebagai belis
untukmu,” kata pemuda tampan tadi.
Uto Wata
mengatakan. “Bolehkah terlebih dahulu hamba tuanku
meminta persetujuan saudara –saudaraku?.”
“Baiklah, aku raja Kopong Sede Lewo Lein Mamun Liko
Lewo Weran menunggu jawaban dari saudara –saudaramu.” Mendengar
kata-kata itu, Uto Wata terkesima. Matanya berbinar-binar hingga tak awas
memperhatikan pemuda tampan itu. Kopong Sede Lewo Lein
Mamun Liko Lewo Weran (Baca : Kopong
Sede) dalam sekejab berubah rupa menjadi seekor ular.
Hari menjelang malam. Matahari beranjak pulang, Uto
Wata bersama anjing piaraanya kembali
ke rumah membawa
air di bliwo. Dalam perjalanan pulang
Uri Kiwa dan Lango Amu berlari mendahului Uto Wata. Sementara “ular” itu
diam – diam menyelinap mengikuti jejak kaki Uto Wata. Saudara –saudaranya menanti dengan penuh cemas. Tidak seperti biasannya
saudari mereka keluar rumah hingga sore dan tidak menyiapkan makanan. Uto Wata masuk rumah. Bergegas Uto Wata
menuju dapur menyiapkan makanan buat saudara – saudaranya.
Uto Wata menghidangkan makanan berupa nasi, sayur dan menyuguhkan air dalam bliwo
yang diambil dari sumber air yang baru
ditemukan hari
itu. Selesai makanan dan minuman, saudara-saudaranya bertanya
kepada Uto Wata. Darimana Uto Wata mendapatkan air yang rasanya sangat sejuk dan segar, berbeda dari
biasanya. Uto Wata menceritarkan semua hal yang ia
alami selama seharian dari pagi hingga
sore itu. Ceritera itu membuat saudara-saudaranya berlinang air mata. Sebuah perdebatan karena perbedaan pendapat antar ketiga bersaudara laki-lakinya, namun akhirnya mereka pun sepakat saudarinya menerima lamaran Kopong
Sede. Sementara di luar rumah “ular” yang
mengikuti Uto Wata menguping dan mendengar perbincangan
mereka.
Atas petujuk dalam mimpi Uto Wata dan saudara
sulungnya Situ Wolo, maka saudara – saudaranya mempersiapakan gere (Sebuah balai bambu). Uto Wata mengambil
sarung tenunanya berwarna coklat
kemerahan bersulam siput – siput pantai berwarna
putih –putih. Perhiasan
gelang gading, blaon (anting emas)
disiapkan. Tibalah
hari nawo bine (Mengantar gadis) kepada pemuda tampan yang melamar Uto Wata. Sesampainya mereka
di pinggir tebing, mata mereka
tertujuh ke bawah dan melihat begitu banyak laki –laki
dan perempuan. Mereka adalah manusia – manusia
alam gaib yang sedang
menunggu dan menyambut Uto Wata diantar saudara- saudaranya. Sementara di tengah - tengah berdiri Kopong
Sede dengan pakaian
kebesaranya.
Sesampainya di pinggir kolam, perasaan
sedih menyelimuti saudara – saudaranya.
Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Uto
Wata. Ia pun hanya berlinangkan air
mata. Balai bambu kemudian diletakkan
di tengah
kolam. Selesai upacara adat nawo bine, secara bergantian Situ Wolo,
Bere Yawa dan Bolok Yawa saling bersalaman, berpelukan dengan saudarinya yang sebentar lagi akan
pergi. Suasana haru menghantar kepergian saudari mereka. Uto
Wata melangkah maju dan duduk di atas
balai bambu
yang terletak di tengah kolam didampingi Kopong Sede.
Air Kolam pun
semakin naik, bersamaan dengan naiknya air, Uto Wata dan Kopong Sede semakin turun ke dalam
air hingga leher. Uto
Wata berpesan kepada saudara – saudaranya, “apabilah
wajahku sudah tidak tampak lagi pada saat itu akan ada letusan dahsat.
Jangan kamu lari. Tetaplah
berdiri di pinggir kolam ini dan ambilah apa saja yang terapung di kolam ini, baik kleten bala klirik tonu, tale lodan kayo’ wuan (Batang kayu dan
daun – daun serta tali dan buah pohon). Ambil dan simpanlah di epu Petun wutun Bunu roin peri lolon pole
(Pondok Bambu). Sesudah tujuh hari baru buka untuk lihat”.
Setelah menyampaikan pesan, gemuruh
air menggelegar membentuk pusaran menelan Uto Wata dan Kopong Sede.
Lenyaplah mahkluk Nitun Wai ke alamnya. Tak lama kemudian air
mengalir dengan derasnya membawa bergelimpangan batang –batang, ranting –
rating dan juga buah- buah dari pohon. Mengingat pesan saudarinya, ketiga kakak beradik
ini mengambil sebatang kayu, seranting daun, seutas tali hutan, dan dua buah biji pohon. Semuanya dibawah pulang dan di disimpan di pondok bambu. Tujuh hari kemudian
mereka membuka pintu pondok dan melihat
batang kayu berubah
menjadi Bala Wekak
(Gading), seutas tali berubah menjadi lodan
(kalung emas), ranting daun menjadi emas berkepala
penyu dan dua buah pohon berubah menjadi sepasang blaon (anting).
Legenda Uto Wata yang rela
memberi dirinya untuk kehidupan banyak orang selalu dikenang hingga kini. Semua harta warisan
sejarah itu dijaga suku Lewo Lein dan disimpan di Rumah Adat (Korke) Suku
Lewo Lein di Lewokluo. ***
------------------------------------------------------------------------------
---- Mata Air
“Leto Matan”: Oleh masyarakat Flotim dikenal air Bama, karena mata air Leto
Matan mengalir hingga Bama. Sesungguhnya mata air Leto Matan berlokasi di Desa
Blepanawa (Wilayah Administratif Pemerintahan Flores Timur). Secara Adat berada dalam wilayah Lewokluo. Sekarang mata
air ini Leto Matan, menjadi sumber utama akan air bersih bagi masyarakat Kota
Larantuka.
Narasumber : Ignas Igo Beribe dan Yoseph Home Lein
(Oleh : Maksimus Masan Kian,
S.Pd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar