Jumat, 13 Januari 2017

"Anak-Anak Perantau: Kaum Tertindas Dan Tak Bersuara"


"Anak-Anak Perantau:
Kaum Tertindas Dan Tak Bersuara"
[catatan atas hari migran dan perantau sedunia]
Oleh Anselmus Atasoge
Staf Pengajar Pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Gereja Katolik Sejagad merayakan hari migran dan perantau sedunia pada Minggu, 15 Januari 2017. Berkenaan dengan perayaan ini, jauh-jauh hari, dari Vatikan, pada tanggal 8 September 2016, Paus Fransiskus telah mengeluarkan pesannya. Gereja Lokal Keuskupan Larantuka melalui Komisi Migran dan Perantau memaknai hari khusus ini dengan menterjemahkan pesan Paus Fransiskus ini sebagai bagian dari sosialisasi dan animasi pastoral dengan mengacu pada Dokumen Kepausan www.vatican.va.
Menurut RD Lukas Laba Erap, Ketua Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Larantuka, sosialisasi dan animasi pastoral ini tak henti-hentinya dijalani di wilayah Keuskupan Larantuka dan juga Keuskupan-Keuskupan di negara lain, misalnya Malaysia, yang dalam kajian Komisi Mirantau Keuskupan Larantuka menjadi negara utama tujuan para perantau asal Flores Timur dan Lembata. Bagi Pastor Lukas, melalui animasi ini diharapkan agar Gereja boleh bergerak keluar dari zona nyamannya untuk berpihak kepada mereka yang lemah dan terasing dari kampung halamannya. Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Larantuka memandang penting gerakan ini untuk menjemput mimpi sekaligus harapan Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, untuk “menciptakan generasi baru 20 tahun mendatang”, generasi yang hidup terbebaskan dari kemiskinan, penderitaan dan kekerasan.
Dunia saat ini disesaki dengan segala bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral. Ya...eksploitasi yang sangat merugikan anak-anak dan kaum muda: laki-laki dan perempuan. Mereka terjebak dalam praktek pelacuran, pornografi, pekerja anak, tentara anak, perdagangan narkoba dan bentuk kriminalitas lainnya. Mereka pun terpaksa melarikan diri dari konflik dan penganiayaan, serta terlantar ke tempat pengasingan.
Pada perayaan Hari Migran dan Pengungsi sedunia tahun ini, Paus Fransiskus mengajak masyarakat dunia untuk memberikan perhatian pada realitas anak-anak perantau, terutama mereka yang hidup sendirian. Paus meminta untuk melindungi kaum muda yang tidak berdaya: anak-anak, orang-orang asing, yang tidak memiliki sarana untuk melindungi diri mereka sendiri yang dengan berbagai alasan terpaksa hidup jauh dari tanah air mereka dan dipisahkan dari keluarga mereka.

Di zaman ini, migrasi dan perantauan bukanlah suatu fenomena yang hanya terbatas pada beberapa belahan dunia saja. Migrasi dan perantauan dengan kondisinya yang tragis bahkan mempengaruhi semua benua dalam porsi global. Migrasi dan perantauan tidak hanya membawa kekhawatiran bagi mereka yang mencari pekerjaan demi bermartabat atau kondisi hidup yang lebih baik, tetapi juga berdampak pada kaum laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan harapan menemukan keselamatan, perdamaian dan keamanan. Anak-anak adalah yang pertama di antara mereka yang menjadi korban perantauan, yang pada umumnya disebabkan oleh kekerasan, kemiskinan, kondisi lingkungan, serta aspek-aspek negatif dari globalisasi. Persaingan yang tak terkendali untuk mencari keuntungan dengan cepat dan mudah, telah membawa serta bentuk-bentuk eksploitasi seperti perdagangan anak, pemerasan dan penyalahgunaan anak di bawah umur. Inilah bentuk-bentuk perampasan yang paling kasat masat terhadap hak-hak yang melekat dalam diri anak, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak.

Bagi Paus Fransiskus, anak-anak dengan segala kerapuhannya memiliki keunikan dan kebutuhan dasar yang tidak dapat dicabut. Di atas segalanya, ada hak untuk hidup dalam lingkungan keluarga yang sehat dan aman, di mana seorang anak dapat tumbuh di bawah bimbingan dan contoh dari ayah dan ibu. Di titik inilah, anak-anak memiliki hak dan kewajiban untuk menerima pendidikan yang memadai, terutama dalam keluarga dan juga di sekolah. Dengannya, anak-anak dapat tumbuh sebagai pribadi dan menentukan masa depan mereka sendiri dan pada gilirannya masa depan negara mereka masing-masing. Singkat kata, mereka memiliki hak asasi sebagai seorang anak manusia.
Dalam pandangannya, Paus Fransiskus melihat bahwa di antara para migran dan perantau, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan. Mereka memiliki masa depan yang suram. Mereka tidak diperhatikan. Kelompok mereka adalah kelompok yang tak bersuara dan tak mempunyai kuasa untuk memperjuangkan suaranya. Mereka sering tersembunyi dari mata dunia. Orang dewasa tidak menemani dan mendengarkan jeritan mereka serta mengangkat suara membela hak mereka. Karenanya, harkat dan martabat anak-anak rantau sangat mudah berada pada tingkat terendah. Akibatnya, ilegalitas dan kekerasan menghancurkan masa depan mereka yang tak bersalah. Sementara itu, di titik lain, dunia berhadapan dengan meningkatnya jaringan pelecehan anak yang semakin sulit diputuskan.
Berhadapan dengan pelbagai kenyataan yang menggelisahkan ini, Paus Fransiskus mengajak dunia untuk menanggapinya. Pertama, kita perlu menyadari bahwa fenomena migrasi dan perantauan tidak hanya berhubungan dengan kehidupan manusia saja. Lebih dari itu, kenyataan ini merupakan bagian integral dari sejarah keselamatan itu sendiri. Lanjut Paus, salah satu perintah Allah yang berhubungan sejarah keselamatan:" Janganlah kau tindas atau kau tekan seorang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir " (Kel 22:21); "Sebab itu haruslah kamu menunjukan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir" (Ul. 10:19).

Fenomena ini merupakan suatu tanda zaman, suatu tanda yang berbicara tentang anugerah Allah dalam sejarah dan dalam kehidupan manusia, dengan tujuan pada persekutuan umat manusia. Dalam menghadapi persoalan, penderitaan dan kesengsaraan para perantau, juga kesulitan yang berhubungan dengan tawaran pelayanan yang menyangkut penerimaan terhadap diri seseorang, Gereja tetap mendorong kita untuk mengakui rencana Allah. Dia mengundang kita untuk melakukan hal ini justru di tengah-tengah fenomena ini, dengan kepastian bahwa tidak ada orang asing di komunitas Kristen, yang mencakup “bangsa, suku, ras dan bahasa" (Why 7: 9).

Paus Fransiskus menekankan bahwa setiap manusia adalah makluk yang mulia. Manusia jauh lebih penting dari segala sesuatu. Nilai dari sebuah lembaga atau institusi manapun diukur dengan cara bagaimana memelihara kehidupan dan martabat manusia, terutama berhadapan dengan mereka yang rentan, khususnya anak-anak yang menderita karena masalah perantauan.

Untuk bisa keluar dari persoalan ini, Paus Fransiskus menghimbau untuk perlunya membangun kerjasama dengan pelbagai pihak dengan tujuan untuk perlindungan, integrasi dan solusi jangka panjang. Keprihatinan akan kondisi ini mendorong kita untuk mengadopsi setiap tindakan yang bisa menjamin perlindungan dan keselamatan anak-anak rantau, karena anak-anak dan kaum muda, laki-laki dan perempuan, sering menjadi anak jalanan, terasing dan terjerumus dalam perilaku yang tidak bermoral. Sembari mengutip pesan pendahulunya, Benediktus XVI, Paus Fransikus menilai bahwa anak-anak yang demikian sering menjadi obyek tontonan tindakan amoral dan kekerasan seksual.

Ada banyak faktor yang berkontribusi untuk membuat para perantau terutama anak-anak menjadi rentan. Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan dan kurangnya sarana untuk bertahan hidup – tambahan pula harapan semu yang dihasilkan oleh media, rendahnya tingkat melek huruf; ketidaktahuan tentang hukum dan budaya karena tidak menguasai bahasa setempat. Semua ini menciptakan ketergantungan baik secara fisik maupun psikologis dalam diri anak-anak. Namun, kekuatan yang paling dahsyat dan paling dibutuhkan adalah bagaimana menyingkirkan perilaku pemerasan dan penyalahgunaan hak anak.

Salah satu hal yang amat diperlukan para migran dan perantau adalah menjalin kerja sama yang lebih erat dengan masyarakat setempat, demi kebaikan diri dan anak-anak mereka. Dalam pesan kepausannya ini, Paus Fransiskus menyampaikan terima kasih kepada organisasi dan lembaga, baik gerejawi maupun sipil, yang setia dan berpikir untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan. Paus menekankan bahwa keberhasilan dan kerjasama yang erat perlu diterapkan, tidak hanya sebatas pada pertukaran informasi, tetapi juga pada intervensi yang tepat dan spesifik melalui penguatan jaringan. Hal ini pun dituntut dari komunitas-komunitas gerejani yang memiliki kekuatan doa yang melahirkan persekutuan dan persaudaraan.

Kedua, Paus Fransiskus mengajak segenap manusia untuk bekerja membangun persekutuan anak-anak, khususnya anak-anak dari para perantau. Anak-anak bergantung sepenuhnya pada kaum dewasa. Mereka kekurangan sumber daya keuangan dan tidak mendapatkan keamanan serta bantuan lainnya.

Di mata Paus Fransiskus, upaya untuk mengekang masuknya para perantau di sebuah negara dalam konteks tertentu, justru membantu perkembangan jaringan illegal. Dengan demikian, upaya tersebut bisa menghambat program penyelamatan dan pemulihan anak-anak rantau. Mereka terpaksa dipulangkan ke negara asal mereka tanpa merasakan kerinduan terdalam akan masa depan mereka. Kondisi anak-anak rantau akan semakin buruk ketika mereka tidak memiliki identitas dan ketika mereka direkrut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dalam kasus tersebut mereka biasanya dikirim ke pusat-pusat penahanan. Satu hal yang pasti adalah mereka tidak memiliki uang untuk membayar denda atau untuk perjalanan pulang. Karena itu, mereka dapat dipenjara untuk waktu yang lama dan sangat gampang terkena berbagai jenis pelecehan dan kekerasan.

Dalam hal ini, negara berhak untuk mengontrol arus perantauan dengan tujuan melindungi kepentingan umum bangsa. Negara tidak hanya menyelesaikan dan mengatur situasi hidup anak-anak rantau dengan sepenuhnya menghormati martabat dan memenuhi kebutuhan mereka di saat mereka tidak mempunyai siapa-siapa, tetapi juga kebutuhan orang tua mereka dan untuk kebaikan seluruh keluarga. Bagi Paus Fransiskus, yang terpenting adalah kesepakatan dan kerjasama antara negara asal dan tujuan untuk menerapkan prosedur nasional terkait upaya mengatasi penyebab pemindahan secara paksa anak-anak di bawah umur.

Ketiga, mencari solusi jangka panjang. Menurut Paus Fransiskus, mengingat persoalan anak-anak rantau adalah sebuah fenomena yang kompleks, maka penanganannya pun harus pada akarnya. Perang, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, kemiskinan, ketidakseimbangan lingkungan dan bencana adalah penyebab masalah ini. Anak-anak adalah korban yang utama. Mereka sering menderita karena penyiksaan dan kekerasan fisik, selain penderitaan moral dan psikologis yang ditanggungnya. Semuanya hampir selalu meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.

Hal yang diperlukan adalah menangani penyebab yang memicu masalah migrasi dan perantauan di negara asal. Sebagai langkah pertama, Paus Fransiskus menganjurkan adanya komitmen masyarakat internasional untuk menghilangkan konflik dan kekerasan yang memaksa orang untuk melarikan diri dari negara asalnya. Selanjutnya, menawarkan program yang memadai untuk daerah yang terkena ketidakadilan, keterpurukan dan ketidakstabilan, agar akses perkembangan yang otentik dapat dijamin untuk semua. “Perkembangan ini harus dipromosikan demi kebaikan putra-putri kita, yang menjadi harapan umat manusia,” tulis Paus.

Sembari memperjuangkan harapan tersebut, Paus Fransiskus tetap berharap kepada semua insan yang telah dan sedang setia berjalan bersama anak-anak dan kaum muda: “Mereka membutuhkan bantuan yang berharga dari anda!”. Gereja juga membutuhkan anda dan mendukung anda dalam pelayanan yang tulus ini. Jangan pernah bosan, beranilah menghidupi Injil. Allah telah memanggil anda untuk mengenali dan menyambut Tuhan Yesus di antara yang terkecil dan yang lemah”. Sebab, "Barangsiapa menyambut seorang anak kecil dalam nama-Ku ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku "(Mrk 9:37; Mat 18: 5; Luk 09:48; Yoh 13:20).

Melalui kata-kata ini, para penginjil mengingatkan bahwa Yesus tidak hanya memberikan inspirasi tetapi sekaligus menantang umat Kristiani. Ajaran Yesus ini menunjukan jalan yang benar kepada Allah. Jalan yang berawal dari yang terkecil, dan melalui kasih karunia Juruselamat, bertumbuh menuju kebiasaan menerima orang lain.

Pada bagian akhir pesannya Paus Fransiskus menulis: “Saya mempercayakan semua anak-anak perantau, keluarga, komunitas dan anda yang dekat dengan mereka dalam perlindungan Keluarga Kudus dari Nazareth; semoga kalian memperhatikan dan menemani setiap langkah perjalanan mereka. Dengan doa-doaku, dan dengan gembira hati saya menyampaikan Berkat Apostolik”.(Penulis juga adalah Pengurus Agupena Cabang Flores Timur. Ketua Seksi Pendidikan dan Pelatihan)


1 komentar: