Oleh: Silvester Petara Hurit
Pemilukada
seperti magnet yang menarik perhatian semua orang. Mulai dari tukang sapuh,
pejabat tinggi, agamawan, tersedot atmosfer perhelatan politik lima tahunan
ini. Konsentrasi, perhatian, strategi, arus uang, manuver- manuver berjalan
dengan cara- cara si penyusup atau pahlawan perang. Bukan rahasia lagi bahwa
segala cara meraup dukungan ditempuh melalui jalur struktural – formal ataupun
acak tak tertebak serupa cara gerilyawan perang menyerang.
Di
kalangan pejabat birokrasi, orang kasak kusuk bisik satu sama lain bahwa si ini
mendukung pasangan itu, dan si itu diam- diam mendukung pasangan calon yang
ini. Tak jarang seperti saling intai. Menunggu momen untuk ‘menusuk’ di
tikungan, takkala paket pendukungnya tampil sebagai pemenang.
Atmosfer
pemilukada serta segala aktivitas yang terkait dengannya dalam beberapa hal
terasa riuh dan ‘mengerikan’. Apalagi di lingkungan birokrasi. Isu mutasi
pejabat, entah benar atau tidak, kerap dihubungkan dengan hitung-hitungan
pemilukada. Partai- partai besar unjuk gigi. Memperlihatkan kuasa uang, massa,
strategi bahkan pamer’kedigdayaannya’Tim sukses masing- masing paket tak jarang
sesumbar mengatakan bahwa mereka bekerja
lebih baik dan lebih efektif dari yang lain. Benar apa yang ditulis jurnalis
dan novelis Argentina Luisa Valenzuela bahwa dunia kini sedang bernapas politik
: Berak politik.
Bukan Hanya Politik dan Pemerintah
Lepas sejenak soal Pemilukada. Dalam
setahun terakhir, saya memperhatikan hal- hal kecil yang dilakukan oleh kawan-
kawan guru yang berhimpun dalam Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena)
Cabang Flores Timur. Dalam segala keterbatasan, beberapa diantara mereka begitu
giat mengkampanyekan gerakan literasi. Melakukan diskusi, pelatihan menulis,
membagikan majalah, buku ke sekolah- sekolah. Maksimus Masan Kian, Pion
Ratuloly, Amber Kabelen, Tobias Ruron, Jemmy Paun, adalah beberapa diantara
mereka yang giat menulis. Para guru muda tersebut menyadari betapa pentingnya
belajar terus menerus mengasah diri dan mengajak lebih banyak orang untuk
melakukannya. Peningkatan kualitas diri akan berdampak terhadap kualitas kerja
di masa mendatang.
Dukungan yang dilakukan terhadap apa
yang dilakukan kawan- kawan Agupena terlalu senyap jika dibandingkan dengan
hangatnya atmosfer dukungan pemilukada. Mungkin karena para guru tersebut bukan
termasuk bagian penting dari lingkaran kekuasaan. Padahal pertumbuhan individu
akan berkontribusi besar di lingkungan/ oraganisasi kerja.Komunitas minta, hobi
dan profesi adalah ruang belajar dan bergaul yang efektif dalam menopang
pekerjaan.
Tak banyak pejabat, termasuk anggota
DPRD Flores Timur yang memandang strategis tumbuhnya kelompok atau organisasi
serupa. Padahal daerah ini tertinggal dalam banyak hal. Butuh lebih banyak belajar dan bekerja serta
bergiat di pelbagai organisasi demi menopang profesionalisme kerja.
Kegairahan belajar akan berdampak
pada kualitas kerja. Segala program dan jabaran teknis dimulai dari konsepesi. Jika
minim pengetahuan maka persoalan tidak bisa dibaca, dianalisis secara tajam,
mendasar dan menyeluruh. Dan tentu dampak turunannya sudah dapat ditebak. Pemecahan
masalah akan melahirkan masalah baru.
Dari masa ke masa anggaran terus
dikucurkan.Namun dalam banyak hal kita seakan tak banyak beranjak. Tak sedikit
program dan regulasi merupakan hasil copy
paste.Maka studi banding atau sejenis perjalanan dinas ke luar daerah jadi
tren dalam merumuskan soal- soal sederhana yang spesifik daerah kita.
Semua orang tahu peran dan pengaruh
kekuasaan politik. Namun harus diingat bahwa politik bukan satu- satunya jalan
untuk mengantar daerah ini ke arah yang lebih baik. Pemegang kekuasaan politik
ataupun pemerintah bukan segala- galanya, Sektor swasta, usaha jasa,
profesional, intelektual, komunitas kreatif juga punya peran besar dalam
mendorong percepatan pembangunan daerah. Gairah berkumpul dan berorganisasi di
pelbagai bidang profesi diperlukan dalam upaya pendidikan dan pencerdasan
masyarakat.
Menjatuhkan Pilihan
Menjatuhkan
pilihan politik khusus di Lewotana
Flores Timur untuk kepemimpinan kepala daerah 5 tahun ke depan mesti
ditempatkan dalam kesadaran pertumbuhan daerah ke masa yang akan datang. Pemimpin
daerah di masa depan adalah pemimpin yang tak henti – hentinya memupuk daya
hidup masyarakat. Mendorong geliat ekonomi melalui usaha kecil, kelompok-
kelompok kategorial, komunitas – komunitas kreatif, pelaku usaha jasa, kalangan
intelektual, profesional dan tenaga trampil. Pemerintah cukup merangsang,
menciptakan kebijakan yang mendorong masyarakat berusaha membangun dirinya.
Pemerintah
dan partai politik harus berani menjadi ‘kecil’ supaya masyarakat menjadi
besar. Pemimpin daerah ke depan tidak lagi tampil berwajah penguasa. Karena
penguasa suka bikin masyarakat jadi ‘lembek’ dan merasa ‘kecil’ sehingga banyak
berpasrah harap pada bantuan pemerintah. Di saat – saat tampan, ketika
masyarakat dalam situasi – situasi sulit, mereka lantas tampil sebagai
penderma/penyelamat yang murah hati. Mantranya sederhana: kemiskinan dan
kepicikan harus dirawat supaya sang pemimpin tetap tampak heroik!
Pemimpin
lima tahun ke depan harus jadi teladan pemikiran dan kerja keras. Menghargai
prestasi dan kompetensi. Mendidik dan mengajar masyarakat akan pentingnya
belajar, bekerja keras dan saling topang. Mendidstribusikan tugas dan peran
membangun daerah secara proposional ke semua pihak. Mengajak generasi muda akan
pentingnya bermimpi dan berpikir besar serta berusaha sekuat mungkin melakukan
pekerjaan –pekerjaan besar. Mencapai prestasi terbaik di pelbagai bidang usaha
yang digelutinya. Maka sedapatnya, dengan hati dan pemikiran jernih, kita masuk
ke bilik pencoblosan, menjatuhkan pilihan pada paket yang dinilai memahami
pentingnya membesarkan masyarakat, bukan diri, partai, kelompok ataupun
keluarganya, apalagi mewarisi tradisi murahan: balas budi dan balas dendam!***
Sumber: Flores Pos edisi Kamis, 14 Februari 2017.
Halaman 12.