Pagi itu begitu cerah. Matahari merangkak pelan
di balik perbukitan, sementara dari kejauhan, irama musik tradisional mulai
memecah keheningan. Kaki para tamu yang melangkah di jalan berbatu seakan turut
bergetar mengikuti dentuman Gong dan Gendang yang ditabuh ritmis. Suara itu
bukan sekadar musik, ia adalah panggilan budaya, gema identitas, dan penanda
bahwa hari itu Witihama tengah merayakan sesuatu yang istimewa.
Di pintu masuk menuju
lapangan upacara, barisan para penari Hedung tarian perang khas Adonara telah
berdiri gagah. Para penari pria mengenakan Nowi’n,
kain tenun tradisional yang menyatu dengan karakter keras dan tegas orang
Adonara. Di tangan mereka tergenggam Parang Adonara (Kenube), Tombak (Gala),
dan Perisai (Dopi) dengan ukiran motif
adat. Di kaki, gemerincing Bolo’n siap
berdering mengikuti setiap hentakan.
Ketika rombongan
guru mulai mendekat, dentuman gendang bergerak lebih cepat. Tarian Hedung pun
dimulai. Bukan sekadar hiburan, ia tampil sebagai upacara penghormatan sebuah
penyambutan adat yang biasanya diberikan kepada para pahlawan sepulang dari
medan juang. Hari itu, para pahlawan itu adalah para guru.
Hentakan kaki para
penari menghentak tanah berulang kali, membangkitkan bunyi Bolo’n yang bersahutan. Setiap hentakan seakan menyampaikan
pesan keteguhan, bahwa tugas pendidikan adalah perjuangan tanpa henti, dan
kedatangan para guru adalah sebuah kemenangan yang layak dirayakan. Para penari
melangkah maju dengan gerakan menyerang, mengayunkan parang ke udara,
menusukkan tombak ke depan, lalu membentangkan perisai sebagai pelindung diri sebuah
simbolisasi keberanian, ketegasan, dan komitmen pada marwah pendidikan.
Formasi Hedung
kemudian membelah diri, menciptakan dua barisan lurus. Di tengahnya, satu
koridor kehormatan terbentuk. Para guru melangkah masuk, satu per satu,
menyusuri jalur tersebut. Parang dan Tombak diangkat tinggi, diarahkan ke
langit sebagai bentuk penghormatan, diiringi sorakan pendek penuh semangat.
Sebuah natoni yang singkat namun sarat
makna, menyiratkan pengakuan tertinggi bagi siapa pun yang melewatinya.
Diiringi lantunan
musik yang semakin kuat, beberapa guru tampak menahan haru. Ada yang tersenyum
bangga, ada yang menunduk pelan, meresapi penghormatan adat yang jarang mereka
terima. Hari itu, mereka bukan hanya tamu upacara. Mereka adalah kesatria bangsa
para penjaga masa depan yang mendidik dalam senyap, tetapi dihargai dengan
lantang.
Ketika barisan guru
mencapai batas lapangan, tarian Hedung mencapai puncaknya. Semua penari
mengacungkan senjata ke langit seraya meneriakkan pekikan terakhir yang
menggema di ruang udara Witihama. Sebuah penutup megah yang mengantar para guru
memasuki upacara peringatan Hari Ulang Tahun PGRI ke-80 sekaligus Hari Guru
Nasional ke-31 tingkat PGRI Cabang Witihama.
Hari itu, budaya,
pendidikan, dan penghormatan bertemu dalam satu ruang. Dan Witihama memastikan,
para guru tidak hanya diingat mereka dirayakan. (Sumber: Zona Flores Timur Junior).





Tidak ada komentar:
Posting Komentar