Selasa, 25 November 2025

Hedung Menggema di Pagi Hari: Sambutan Kesatria untuk Para Guru PGRI Cabang Witihama

 


Pagi itu begitu cerah. Matahari merangkak pelan di balik perbukitan, sementara dari kejauhan, irama musik tradisional mulai memecah keheningan. Kaki para tamu yang melangkah di jalan berbatu seakan turut bergetar mengikuti dentuman Gong dan Gendang yang ditabuh ritmis. Suara itu bukan sekadar musik, ia adalah panggilan budaya, gema identitas, dan penanda bahwa hari itu Witihama tengah merayakan sesuatu yang istimewa.



Di pintu masuk menuju lapangan upacara, barisan para penari Hedung tarian perang khas Adonara telah berdiri gagah. Para penari pria mengenakan Nowi’n, kain tenun tradisional yang menyatu dengan karakter keras dan tegas orang Adonara. Di tangan mereka tergenggam Parang Adonara (Kenube), Tombak (Gala), dan Perisai (Dopi) dengan ukiran motif adat. Di kaki, gemerincing Bolo’n siap berdering mengikuti setiap hentakan.

Ketika rombongan guru mulai mendekat, dentuman gendang bergerak lebih cepat. Tarian Hedung pun dimulai. Bukan sekadar hiburan, ia tampil sebagai upacara penghormatan sebuah penyambutan adat yang biasanya diberikan kepada para pahlawan sepulang dari medan juang. Hari itu, para pahlawan itu adalah para guru.



Hentakan kaki para penari menghentak tanah berulang kali, membangkitkan bunyi Bolo’n yang bersahutan. Setiap hentakan seakan menyampaikan pesan keteguhan, bahwa tugas pendidikan adalah perjuangan tanpa henti, dan kedatangan para guru adalah sebuah kemenangan yang layak dirayakan. Para penari melangkah maju dengan gerakan menyerang, mengayunkan parang ke udara, menusukkan tombak ke depan, lalu membentangkan perisai sebagai pelindung diri sebuah simbolisasi keberanian, ketegasan, dan komitmen pada marwah pendidikan.



Formasi Hedung kemudian membelah diri, menciptakan dua barisan lurus. Di tengahnya, satu koridor kehormatan terbentuk. Para guru melangkah masuk, satu per satu, menyusuri jalur tersebut. Parang dan Tombak diangkat tinggi, diarahkan ke langit sebagai bentuk penghormatan, diiringi sorakan pendek penuh semangat. Sebuah natoni yang singkat namun sarat makna, menyiratkan pengakuan tertinggi bagi siapa pun yang melewatinya.

Diiringi lantunan musik yang semakin kuat, beberapa guru tampak menahan haru. Ada yang tersenyum bangga, ada yang menunduk pelan, meresapi penghormatan adat yang jarang mereka terima. Hari itu, mereka bukan hanya tamu upacara. Mereka adalah kesatria bangsa para penjaga masa depan yang mendidik dalam senyap, tetapi dihargai dengan lantang.



Ketika barisan guru mencapai batas lapangan, tarian Hedung mencapai puncaknya. Semua penari mengacungkan senjata ke langit seraya meneriakkan pekikan terakhir yang menggema di ruang udara Witihama. Sebuah penutup megah yang mengantar para guru memasuki upacara peringatan Hari Ulang Tahun PGRI ke-80 sekaligus Hari Guru Nasional ke-31 tingkat PGRI Cabang Witihama.

Hari itu, budaya, pendidikan, dan penghormatan bertemu dalam satu ruang. Dan Witihama memastikan, para guru tidak hanya diingat mereka dirayakan. (Sumber: Zona Flores Timur Junior).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar