Rabu, 31 Mei 2017

Pancasila Sakti, Indonesia Jaya




" Seharusnya, pendidikan bukan semata upaya mentransfer materi pelajaran. Lebih dari itu, pendidikan adalah sebuah proses menyalakan pikiran, mematangkan kepribadian. Kalau pendidikan justru memampatkan kreativitas, mengerdilkan keberanian bereskspresi, memustahilkan impian, serta membuat anak-anak menjadi asing pada dirinya sendiri dan lingkungannya, maka sebaiknya pendidikan tidak perlu ada. "
(#Negara100Kata)

Pancasila, SAKTI.
Indonesia, jaya.
SAKTI : Satukan tekad kejayaan tanah air Indonesia!!!
Pekikan yeliel ini membuka dengan penuh semangat materi yang dikaji di Bumi Perkemahan Waimana II, Kecamatan Ile Mandiri dengan tema "Pemuda Indonesia yang Bangkit dan Peduli Dalam Bingkai NKRI dan Kebhinekaan." 

Beberapa pekikan semangat diberikan oleh adik-adik peserta perkemahan ini ketika diminta untuk tepuk pramuka, juga ada yang dengan penuh semangat melafalkan teks Pancasila.
Ada lagi yang sangat berani mengemukakan pendapat mereka tentang siapa itu Indonesia.
Lalu pada sebuah sela tanya yang saya ajukan tentang bagaimana cara kita mencintai Indonesia, ada beberapa jawaban anak-anak bangsa yang sekian waktu hidup di kampung ini, membuat saya terdiam beberapa waktu untuk mengapresiasikan jawabannya.
Sebut saja Andre DVG nama anak laki-laki itu.
Ketika saya tanya, siapa yang bisa menjelaskan bagaimana dirinya mengabdi dan mau berbuat untuk Indonesia, dia langsung berani maju ke depan dan mengambil mike lalu mulai memperkenalkan diri dan berbicara. 

"Cara saya mengabdi dan berbuat bagi Indonesia adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan, dan juga ikut membantu Bapak tanam pohon di rumah."
Seketika saya terkejut. Jawaban anak ini diluar dugaan saya, saya menyuruhnya berdiri di depan lalu imajinasi saya berlari kemana-mana. Jawaban ini menggugah saya pastinya. Sungguh dia anak cerdas. Sederhana memang, simple sekali jawabannya. Tapi ada beberapa hal yang mau saya bicarakan kepada sekalian sobat yang sempat membaca ini, percuma kita ini sekolah tinggi-tinggi dan lulus dengan IPK tinggi, punya organisasi sana dan sini, wisudanya paling cepat sendiri, tapi masih buang sampah sembarangan, selama itu pula pendidikan kita masih gagal diberfungsikan. 


Dan contohnya yang menanam pohon, saya pikir ini adalah salah satu bukti dia berinvestasi untuk masa depan bumi. Bagi anak dan cucunya kelak. Setidaknya dia menunjukan bahwa dirinya tidak egois, tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Sobat.... jawaban itu ada di sini.
Saya cukup kagum pada pemikiran-pemikiran sederhana anak bangsa yang ada di kampung ini.
Lalu adalagi, ketika saya menanyakan seperti apa cara kalian mencintai Indonesia?
Dengan gagah berani sang ketua osis yang saya ingat benar namanya Jovan, menghampiri saya di depan dan menjelaskan.
"Cara mencintai Indonesia bagi saya membaca buku, tidak mencontek, dan tidak menghina teman. "
Kali ini jawaban sang ketua osis membuat saya benar-benar kagum dengan segala kesederhanaan ini.
Kawan... Cinta adalah kata sifat yang lahir dari pemahaman dan keyakinan yang mantap. Sedangkan mencintai adalah kata kerja, yang terwujud dengan sikap dan tindakan nyata.
Bukankah ini semua sangat luar biasa bukan? 

Saya bilang pada mereka, "Adik-adikku, jangan merasa minder menjadi anak bangsa yang hidup di kampung. Karena jutaan luas wilayah Indonesia ini, cara mencintainya adalah dari diri kita sendiri. Dari rumah kita. Dari kampung kita.
Tetap bangga pake kwatek, pake nowing, tetap bangga bantu mama pergi kebun, bantu bapa jual ikan, terus giat belajar dan bersekolah. Karena bangsa yang besar ini, sudah sepakat menitipkan masa depannya pada pundak kalian. Pemuda masa depan bangsa. Jadi jangan patah semangat dalam berusaha." 
Di sela itu saya memberikan apresiasi kepada semua adik-adik yang progresif dan berani menjawab dan maju kedepan itu sebuah gelang dari pita merah putih, yang saya artikan bahwa ini membuktikan semangat kita, perjuangan kita, tak pernah putus dan hilang sambung untuk kembali mengabdi pada tanah air yang sudah membesarkan kita meski kita hidup dalam keberagaman, dalam banyak perbedaan, tapi tetap satu tanah air, Indonesia.

Lalu di akhirnya, ada beberapa gadis-gadis kampung yang juga penuh kreativias berkarya membawakan puisi berjudul Indonesia. Sebut saja Eko dan Merry. Dan di sela bisiknya, mereka mau menjadi perempuan yang seperti kakak di depan ini.  (Terimaksih, kalian harus lebih dari ini)


Dan sebelum saya menutup cerita ini, ada beberapa hal yang mau saya tegaskan.
Negeri ini bergerak lamban bukan karena tidak ada rencana pembaharuan. Namun ini disebabkan, anak-anak muda yang tulus, kreatif, dan penuh gairah membangun bangsanya, tidak mendapatkan dukungan nyata dari lingkungan dan sekitarnya.
Mari, kita berikan dukungan dan kesempatan kepada anak muda yang telah berani memilih untuk mengambil peran dalam upaya memajukan negeri ini.
Karena anak-anak muda sekarang, adalah cerminan nasib bangsa di masa yang akan datang.
Oh ia, dan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya para guru saja, atau juga mereka aktivis saja, tetapi tanggunggugat semua kita. 
Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar