(Bara Pattyradja)
Litera (Ciputat)- Sekitar lima
puluh pegiat seni dan sastra hadir di cafe ruang tengah, futsal camp Ciputat
pada sabtu malam (20/8). Sebagian adalah para pegiat seni yang aktif dan
berdomisili di Tangerang Selatan dan Jakarta. Sebagian besar dari mereka justru
adalah mahasiswa dan pecinta sastra yang berasal dari Flores yang tersebar di
wilayah Bogor dan Depok. Mereka hadir untuk menjadi saksi dan memeriahkan
launching buku Pacar Gelap Puisi karya Bara Pattyradja, seorang
penyair muda kelahiran 12 April 1983 di Lamahala, Flores Timur, NTT.
Acara dimulai pkl 20.00 dan
dipandu oleh arief D Hasibuan, pegiat sastra yang aktif di komunitas oretan
liar. Launching buku dimeriahkan dengan bincang-bincang dan penampilan dramatic
poetry reading yang diiringi petikan gitar Ivan Nestorman. Hadir sebagai
pembedah buku adalah Fahd Pahdepie, penulis muda yang belakangan ini cukup
menjadi perhatian di media sosial dan Bona beding, seorang pegiat budaya.
Dalam diskusinya Fahd Pahdepie
menekankan jika perbedaan identitas dalam suatu masyarakat di sebuah bangsa
yang besar dan plural bukanlah suatu hal yang harus dipertentangkan, begitu
pula dalam suatu entitas yang disebut seni dan budaya. Keragaman jangan menjadi
sebuah pemicu yang dapat menyebabkan suatu pertikaian yang serius. Keragaman
bahkan terkadang mampu membuat suatu bangsa kaya akan budaya.
“Dalam konteks ini, jangan
menganggap bahwa perbedaan identitas sebagai pacar gelap yang mampu membuat
kita menjadi seorang yang mudah terprovokasi. Pacar gelap Puisi anggaplah
sebuah formalitas,” tutur Fahd penuh semangat.
“Sesungguhnya telah terjadi
semacam hibrida kebudayaan. Kita bisa melihat hibrida kebudayaan itu sekarang.
Kita membaca puisi-puisi tentang Flores di Ciputat dan persis di samping kita
adalah lapangan futsal yang sedang ramai bertanding futsal sambil kita minum
kopi Gayo,” lanjut Fahd dengan suara kencang karena suasana malam memang
ditimpali dengan keriuhan pertandingan futsal.
Fahd mengajak para audiens untuk
membongkar politik kebudayaan, salah satu cara tersebut dapat melalui puisi
seperti yang telah dilakukan oleh Bara.
“Cara kita memperkenalkan puisi
bisa lebih terbuka sehingga apa yang disebut Pacar Gelap Puisi tidak
lagi gelap dan buram. Puisi bisa kita rayakan dengan indah tanpa kehilangan
identitas.” Fahd menutup prolog panjangnya.
Bona Beding seorang pegiat
budaya yang hadir sebagai pembicara kedua lebih melihat buku Bara dalam
perspektif estetika dan unsur puitikanya.
“Diksi puisi Bara cukup kuat.
Diksi adalah diktum yang berarti keyakinan. Bara seakan menuangkan energinya
dengan penuh keyakinan dalam puisi-puisi di buku ini meski jauh di luar itu
sang penyair juga sedang mengalami persoalan identitas.” Bona lalu membaca
serta menelaah satu atau dua baris puisi Bara.
“Saya memang belum membaca semua
puisi dalam buku ini, tapi dengan menilik sebagian saja, saya bisa melihat dan
merasakan unsur estetis yang begitu puitis,” tutup Bona.
Bara Pattyradja sendiri melihat
bahwa persoalan identitas itu persoalan yang bersifat ilusif.
“Identitas menjadi ilusif,
sesuatu yang tak selesai dan tersumbat. Saya melihat justru Sunda tak lagi
seperti Sunda, atau orang Padang tak lagi seperti Padang. Pacar Gelap Puisi
justru ingin memberi suatu gambaran tentang identitas yang ilusif itu. Ini
bukan berarti bahwa kita harus melihat puisi sebagai suatu pacar gelap yang
buram. Buku ini hanya ingin menekankan bahwa memang ada persoalan identitas dan
anggaplah itu pacar gelap puisi.
Rencana dalam launching buku
akan menghadirkan aktris Olivia Zalianty, karena jadwal yang padat maka Olivia
tak bisa hadir. Meski tanpa kehadiran Olivia, acara launching buku berjalan
sangat meriah dan penuh kehangatan. Banyak peserta turut membaca puisi. Bahkan
sang penyair turut menari dan menyanyi diiringi petikan gitar Ivan Nestorman
yang malam tadi seolah-olah ingin mengajak rekan-rekannya mengenang kampung
kelahiran mereka. Ivan mendendangkan lagu-lagu Flores.
Saat awak Litera wawancara
ringan dengan Bara, penyair yang telah melahirkan empat buku karya tunggal itu
mengatakan bahwa ia membutuhkan dua hingga tiga tahun untuk mempersiapkan Pacar
Gelap Puisi ini.
“Tapi persiapan tehnis untuk
cetak buku dan launching tak sampai dua bulan,” terang Bara pada Litera. Bara
menceritakan jika dia pindah ke Jakara belum satu tahun. Ia selain aktif
menulis puisi juga sedang mengambil program magister di sebuah universitas di
perbatasan Tangsel dan Jakarta.
Pacar Gelap Puisi adalah
buku Bara yang ke-empat. Dua buku sebelumnya ditulis saat Bara masih menjadi
mahasiwa dan aktif bergiat di Yogyakarta. Buku ketiga ditulis di NTT saat ia
aktif mengasuh Rumah Poetika. Selesai menyelesaikan pendidikannya di
Yogyakarta, Bara memang kembali ke NTT.
Obrolan Litera dengan Bara
berjalan ringan dan santai karena diselingi permintaan tanda tangan dan foto
bersama dari para peserta pada sang penyair. Seusai diskusi sebenarnya ada
agenda penulisan tanda tangan dan sesi foto bersama, tetapi memang lebih indah
jika foto bersama sang penyair dalam suasana yang santai dengan angle yang
beragam. Saat sebagian besar yang hadir telah meninggalkan cafe karena malam
telah beranjak larut, Arief D Hasibuan sang pemandu dan moderator acara asyik
membaca puisi di panggung dan bernyanyi bersama beberapa rekan pegiat sastra.
(Mahrus Prihany)
Penulis : Mahrus Prihany
Tidak ada komentar:
Posting Komentar