Minggu, 10 Juni 2018

Pemeran "Tonu Wujo" Itu Adalah Gadis Berdarah Sabu

Yunitha Devrudyan Doko, Pemeran "Tonu Wujo"
 
Pentas Teater "Tonu Wujo" beberapa hari yang lalu di Taman Kota Felix Fernandez yang diselenggarakan Fanfare St.Caecilia masih menyisahkan rasa penasaran sebagaian warga Flores Timur tentang siapa sosok pemeran "Tonu Wujo". 

Saya termasuk salah satu penonton yang dibuat sangat penasaran, sebab perannya sungguh menakjubkan. Karakter yang ia perankan sangat cocok dengan sosok "Tonu Wujo" sebenarnya. Ketegaran, cinta, kesabaran dan pengorbanan ia perankan dengan begitu apik. Kata kata, gerakan hingga nyanyian rakyat Lamaholot begitu fasih ia mainkan. Panggung malam itu sungguh menjadi miliknya. 

Salah satu keberuntungan saya malam itu yakni, menempati posisi duduk paling depan. Ini saya manfaatkan untuk memotret dan mengambil dokumentasi dalam bentuk vedio pada adegan adegan yang bagi saya menarik sebanyak banyaknya. Foto foto dan video itu, kemudian saya posting di media sosial, Facebook.

Lewat postingan di Medsos itulah, alam raya mempertemukan saya dengan pemeran "Tonu Wujo" pada Senin 4 Juni 2018 di Duta Cafe Larantuka. 3 hari setelah pentas diadahkan. Kami merencanakan pertemuan itu. Ia akan mendapatkan foto jepretan saya, dan sebaliknya saya akan mengupas profilnya. Profilnya, yang tentu menginspirasi orang muda Flotim lainnya agar turut mengambil peran dalam menghidupkan dunia seni pertunjukan di Flores Timur.

Kami janjian bertemu pada pkl. 18.00 Witeng. Dan masing masing kami menempati janji itu. Saat bertemu, di lokasi (Duta Cafe) sudah ada salah seorang sahabat Redemtus Welan (Wartawan Jong Flores). Ditemani kopi Flores, bertiga berbagi cerita dan shering pengalaman. Lebih banyak mengupas soal profil Si Pemeran " Tonu Wujo"

Kesan pertama bertemu, prediksi saya di point pertama langsung gugur. Dalam balutan busana Lamaholot, cara melangkah dan berbicara di panggung pentas, saya memprediksi umurnya di atas 30 tahun. Namun dari raut wajah, sepertinya Ia masih mahasiswa. Benar, diperkenalan awal, Ia lahir di tahun 1992, tepatnya 20 Juni. Artinya, Ia baru berusia 26 tahun di 20 Juni 2018. Masih sangat muda. Ah..dosen mudah yah...

Dari nada bicara dan intonasi dipanggung, saya pastikan, ia adalah asli orang Larantuka. "Bukan kaka, saya bukan orang Larantuka le, saya orang Sabu. Saya baru beberapa bulan di Larantuka," katanya. Ah..Nona Sabu yah...gugur lagi, prediksiku yang kedua.

Bapa dari Sabu, Mama Sabu, Darah Sabu, lahir besar di Kupang, baru beberapa bulan di Larantuka, Flores Timur bisa memerankan sosok "Tonu Wujo" pasti ada hal hebat dan luar biasa pada diri dosen muda ini.

Dari namanya, memang masih sangat asing di Flores Timur. Yunitha Devrudyan Doko. Benarkan, namanya sangat asing untuk orang Flores Timur, namun kenapa ia begitu hebatnya di atas panggung dengan peran " Tonu Wujo" yang bagi kita Orang Flores Timur saja mungkin sulit untuk memerankannya.

Nitha, sapaannya punya pengalaman menarik di dunia menulis, melukis, menggambar, bernyanyi hingga main teater. "Dulu waktu SD, cita cita saya menjadi Seorang Komikus, SMP saya bercita cita menjadi seorang penulis cerpen, SMA saya ingin menjadi waratawan dan SI saya mau jadi artis panggung. Menjadi Komikus karena dulu saya suka baca komik,dan sering mengambar komik, menjadi penulis cerpen karena saya di usia SMP menghasilkan banyak tulisan cerpen, Ingin menjadi wartawan, karena waktu SMA di Geovani Kupang, saya termasuk salah satu pelajar yang dijaring oleh Pos Kupang menjadi Wartawan Pelajar di mana, kala itu, kami diberi kartu wartawan dan bisa melakukan liputan tentang apa saja di Kota Kupang dan sekitarnya. Kami diajarkan menulis berita, mengedit hingga cara menerbitkan tulisan melalui koran. Waktu itu, ada halaman atau rubrik yang disiapkan khusus untuk kami. Ada kolom inspirasi, rubrik Indahnya Budayaku dan lain lain. Saya masih ingat kami menulis artikel tentang facebook, dimana saat itu facebook menjadi isu yang aktual. Gaya bahasa yang kami gunakan adalah bahasa remaja. Bangga sekali,"tutur Nitha.

Di Dunia Kampus Nusa Cendana Kupang, Nitha terlibat di banyak komunitas teater diantaranya Komunitas Gembel Reformasi, Teater Tanya, Rumah Puitika dan lain lain. Di tahun 2010, Ia bersama teman teman di Komunitas Gembel Reformasi, membawahkan Parodi dengan Tema "Anggur Merah" yang berhasil keluar menjadi juara I pada lomba yang digelar oleh Infokom NTT. Selain beberapa karya lain,ia juga terlibat dalam pementasan teatrikal pada peresmian Gong Perdamaian di Kota Kupang, yang pada waktu itu, mereka dilatih oleh Seniman, Abdy Keraf.

Sepintas berkenalan dan ngobrol, saya menemukan jiwa pejuang pada diri Nitha. Sejak usia 4 tahun, ia harus bertahan hidup sendiri dengan mama karena ayahnya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ia bahkan tidak mengingat persis wajah bapanya. Sejak itu, ia bertahan hidup dengan mama dan adik bungsunya. Adiknya sekarang, waktu ayah mereka meninggal, ia masih dalam kandungan mamanya.
Bagi Nitha, sosok mamanya, Diana Doko itu, pekerja keras dan sangat disiplin. Ia pantang menyerah berjuang untuk kesuksesan anaknya. Walau hanyalah seorang Wiraswasta kecil. Mengambil peran mama, sekaligus bapa memang tidak mudah. Hanya perempuan perempuan tanguhlah, yang bisa bertahan. Dan itu ditunjukan oleh Ibunya Nitha. Lewat kesabaran,perjuangan, dan pengorbanan mamanya, Nitha bisa menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Bonipoi 1 Kupang (2004), SMP Negeri 2 Kupang (2007), SMAK Geovani Kupang (2010), Kuliah SI, FKIP Bahasa Indonesia Undana Kupang (2015) hingga menempuh Pendidikan Magister Linguistik Umum di Universitas Warmadewa Pulau Dewata Bali (2017).

Tamat di Universitas Warmadewa 2017, ia ditawarkan oleh Profesor Aron Meko Mbete, Asal Ende, Dosen Udayana Bali, untuk bergabung di IKTL Larantuka. "Kalau selesai studi magister, belum dapat kerja dan masih ngangur, bisa bergabung di IKTL Larantuka" demikian Nitha mengucapkan kata kata ajakan Prof Aron sesaat setelah ujian tesisnya. Memang dalam hatinya, ia tidak mau meninggalkan ibunya sendiri dengan adiknya yang bungsu di Kupang, namun di sisi lain, ia juga sementara memutar otak di mana ia harus bekerja nanti setelah dari Bali. Undana pasti sulit diterima.
Atas tawaran dan ajakan yang ada, Nitha melayangkan surat ke Pimpinan Yayasan IKTL di Larantuka. Dan selang beberapa bulan ia mendapat surat balasan dari pihak yayasan untuk diterima bekerja di IKTL. Ia datang dengan tidak mengenal siapa siapa di Larantuka. Tiba di Larantuka 5 Agustus 2017 dan resmi mulai bekerja di IKTL 7 Agustus 2017. Di IKTL, pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, ia mengasuh Mata Kuliah, Analisis Berbahasa Indonesia, Telaah dan Apresiasi Fiksi, Sosiologi Sastra dan Pengelolaan Majalah Sekolah.

Selain sebagai Dosen, Nitha dikenal sangat aktif menghidupkan kegiatan ekstrakurikuler pada bidang Seni. Bersama dua temannya Martinus Irwanto Ishak dan Dominikus Boli Watomakin membentuk sebuah komunitas sastra tingkat kampus yang dikenal dengan nama "Sleru" yang artinya sebuah piring atau wadah kecil yang kehadirnya dapat menjadi pelengkap. Terbentuk dengan 14 anggota, dan telah menghasilkan banyak karya yang dipentaskan di tingkat kampus diantaranya musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, tari kontemporer dan lain lain. Pentas yang mereka bawahkan di momentum wisuda perdana IKTL mendapat sambutan yang luar biasa dari penonton.

Berawal dari panggung kecil dengan penonton yang terbatas inilah, Nitha mulai dikenal. Dan Rektor IKTL, Vinsensius Lembalah yang kemudian memperkenalkan Nitha dengan Romo Laurensius Riberu, Romo Moderator Komunitas Fanfare St. Caesilia yang saat itu sedang mencari fugur seorang perempuan yang bisa berperan sebagai " Tonu Wujo". Target awal memang harus ibu ibu, tapi kemudian pilihan jatuh pada seorang gadis Sabu. Nitha.

Saatnya Nitha menemukan dunianya kembali, bergabung dengan Tim yang sedang melakukan persiapan untuk pentas teater. Saat itulah, untuk pertama kali ia bisa bertemu dengan Zaeni Boli, dan kawan kawan, juga Sang Sutradara Kawakan, Silvester Petara Hurit. Dimata Nitha, Sivester itu seorang seniman hebat dengan ekspetasi yang tinggi, untuk sebuah pementasan. "K Sil itu, seniman hebat yang baru saya temukan. Sistem pelatihannya bagus. Di awal latihan, dia tidak kasih teks. Latihan terus berjalan tanpa teks. Saya ingat betul di beberapa hari awal kami latihan, kami diminta hanya jalan saja, seolah olah kaki tidak menginjak di tanah. Dan itu kami lakukan ulang ulang. Selanjutnya kami diperdengarkan dengan lagu lagu, bunyi suling yang bersenandung. Pokoknya, latihan yang tidak biasa dari sebelumnya yang saya alami. Baru diakhir latihan, kami diberi teks, syair dan langsung praktek. Saya pada satu adegan, K Sil buka musik dan langsung perintahkan saya menyanyi, spontan saya menyanyi lagu daerah yang langsung bisa, padahal saya bukan orang Larantuka. Hebatnya K Sil itu disitu,"tutur Nitha.

Nitha mengaku, perannya sebagai "Tonu Wujo" sangat bertolak belakang dengan karakter aslinya yang cerewet. Di bagian ini, K Sil Sutradara kami menerapkan stratrgi puasa bicara. "Saya mengikuti apa yang diarahkan K Sil, dan memang berhasil. Di kampus, beberapa hari jelang pementasan, saya puasa bicara. Malam hari saya dengungkan lagu lagu daerah yang digunakan dalam pementasan, dan ini cara yang efektif untuk berlatih. Latihannya memang berat. Tapi memang demikian. Untuk mendapatkan hasil yang berkualitas, latihan harus sungguh sungguh. Saya sempat sakit untuk beberapa hari. Sutradara kami menguatkan saya kata, sakit itu adalah pembersihan diri sebelum pentas. Benar apa yang dikatakan Sang Sutradara, jelang sehari pentas, sakit yang saya derita sembuh total, hingga aman sampai selesai pentas. Ada keajaiban yang saya rasakan,"kata Nitha.

Bagi Nitha, Hidup itu berawal dari mimpi. "Jangan takut bermimpi, jangan takut jatuh, beranilah mencoba. Jika hari ini antusias masih kurang dalam dunia seni, kita tidak boleh menyerah. Menyukai seni itu butuh proses. Jika ada panggung kita siap isi dan kalaupun tidak ada panggung, kita siap ciptakan.

Gadis Sabu yang memiliki hobi membaca, menulis, menggambar dan berteater ini ingin terus berkarya di Flotim. "Saya akan terus berkarya, berbagi dan menginspirasi anak anak muda Flotim untuk mencintai seni. Seni itu keindahan dan keindahan me ciptakan daya kreasi dan inovasi,"kata Nitha. Ia berpesan kepada anak muda Flotim untuk selalu menampilkan karya dalam mendukung perubahan di bidang masing masing sesuai talenta.

Setelah sukses mementaskan Teater "Tonu Wujo" di Taman Kota Felix Fernandez Larantuka, pada tanggal 7 Juni 2018 mendatang bersama tim akan ke Kupang, mengisi acara yang sama di Pesta Ulang Tahun Emas Paroki St. Yoseph Naikoten, mengisi acara di Gereja Asumta Kupang dan terakhir di Hotel Kristal Kupang.

Nitha, orang Sabu yang mampu menjiwai Budaya Lamaholot lewat perannya sebagai "Tonu Wujo". Bagaimana dengan kita, khususnya generasi muda yang berdarah asli Lamaholot....?* (Maksimus Masan Kian)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar