Alkisah pada zaman dahulu, dibawah kaki
Gunung Ile Sodo Bera, Woka Ban Nara, Ile Kukun Nubu Woka Bao Baran (Sebuah
Gunung yang menjulang tinggi) terletak di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga
Kabupaten Flores Timur, berdiamlah penduduk asli Desa Waibao yakni orang- orang
dari kampung Riangpuho, Tengadei, Keka dan Lebao yang disebut, Lewo Eko Puken, Tanah Parak Nimun.
Penduduk di tempat ini dipimpin oleh Raja Hali
Geken Tuan Penana Deran.
Mata pencaharian pokok warga di kampung
ini adalah adalah bertani atau bercocok tanam.Pekerjaan di kebun dilakoni oleh
laki- laki, sementara perempuan lebih banyak di rumah sebagai ibu rumah tangga
juga penenun sarung tradisional. Penduduk asli
pada keempat wilayah perkampungan tradisonal ini, umumnya berasal
dari suku Maran, Koten, Kelen, Hurit
(Nitit).
Dikisahkan bahwa, penduduk di tempat ini
tidak banyak, dan hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Satu kebiasaan di tempat ini untuk mendapatkan sumber api adalah,
dengan mengambil puntung api dalam bahasa masyarakat setempat “api nutok” antar satu rumah dengan rumah
lainnya. Jika satu rumah sudah membuat api, maka oleh rumah tetangga yang lain,
bisa mengambil puntung api untuk membuat apinya.
Suatu waktu terdapat dua orang ibu yang tengah menenun di
rumahnya. Satu bernama Nini dan yang lain bernama Bunga. Mereka bertetangga.
Hari itu, hujan lebat melanda kampung ini.
Karena hujan, dari rumahnya, Nini meminta bantuan kepada Bunga untuk
memberikan puntung api agar Ia bisa memasak nasi. Hujan yang terus turun, membuat
Nini kemudian mengambil jalan pintas, Ia menyuruh Anjing peliharaannya bernama Samadore, ke rumahnya Bunga untuk
mengambil puntung api. Bunga kemudian mengambil puntung api dan mengikatkannya
pada ekor Samadore Anjingnya Nini. Anjing berlari, membawa puntung api tersebut
dari rumah Bunga ke rumahnya Nini. Saat Anjing kedinginan dan berlari, ekor dan
puntung api bergerak ke kiri ke kanan dan seterusnya. Pemandangan ini, oleh
Nini, Bunga dan warga lain yang turut melihat ketawa terbahak- bahak.Bagi mereka, kejadiaan itu langkah
dan olehnya mereka merasa lucu membuat mereka terus tertawa sekeras- kerasnya.
Tak
berselang lama, saat ketawa mereka semakin melengking, kilat dan petir
menyambar kemana – aman dari segala arah. Sementara itu, hujan turun semakin
lebatnya. Saat bersamaan terdengarlah gemuruh dari puncak Gunung tersebut.
Seiring dengan gemuruh dan goncangan yang dahyat itu, gunung Ile Sodo Bera, Woka Ban Nara, Ile Kukun Nubu
Woka Bao Baran roboh. Robohnya
Gunung ini kemudian membentuk sebuah kawah
besar. Air hujan yang yang terus menguyur wilayah sekitar kemudian
menggenangi kawah tersebut hingga menyerupai sebuah Danau.
Pristiwa ini oleh warga menyebutnya
dengan “ be ena – ena, belebo- lebo”
(hujan yang lebat membenamkan segalanya diatas muka bumi) Saat pristiwa itu
terjadi, banyak warga yang tenggelam dalam kawah itu dan kemudian berubah wujud
menjadi “Waja” ( Buaya), ada yang lari dan berubah menjadi batu, yang saat ini
ada disekitar Danau, adapula yang lari dan selamat kemudian mendiami wilayah
lain pada daratan Flores Timur seperti keturunan suku Ruron di Lama Tou di
Kecamatan Lewolema, Beloaja, Laka, dan Muleng di Kecamatan Tanjung
Bunga.Penduduk asli yang selamat dari bencana alam ini, kemudian menamai
genangan air pada kawah tersebut dengan nama Waibelen. Waibelen terdiri dari
dua kata Wai : Air dan Belen: Besar atau luas. Air Waibelen tidak pernah surut
atau kering setelah kejadiaan hingga saat ini.
Hingga kini, warga masih meyakini bahwa
Anjing yang dipelihara tidak boleh diolok atau ditertawai, kalau tidak maka
musibah akan datang.
Ada keyakinan lain bahwa, di dalam Danau
Waibelen terdapat leluhur Nenek moyang mereka yang menjelma menjadi buaya. Warga
menyebut Buaya yang ada di dalam danau sebagai “Nene”( leluhur) yang bernama Hali Kote Bura. Haram kalau dalam
kehidupan bermasyarakat misalnya terjadi pertengkaran lalu diantara mereka
dengan emosi mengatakan mo pe nia mo mai lau Wai bele Waja gaa mo” atau mo pe waja ga’. ( Engkau kalau ke Danau
Waibelen Buaya Makan Engkau atau Buaya Makan Engkau), dan terbukti ada sekian
warga di Desa Waibao, karena melanggar itu, dimakan oleh Buaya.Ada yang mati
langsung di Danau, dan ada yang selamat yang saat ini ada di Desa Waibao.
Itulah
sebabnya, hingga saat ini masyarakat setempat sangat berhati – hati dan menjaga
tutur kata yang berisi sumpah yang
berkaitan langsung dengan penyebutan kata waja; buaya. Mereka meyakini bahwa
walau buaya – buaya tersebut adalah pemangsa, tetapi ia tidak akan memangsa manusia
yang tidak punya kesalahan (Maksimus
Masan Kian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar