Senin, 28 Agustus 2017

Legenda Danau Waibelen

Alkisah pada zaman dahulu, dibawah kaki Gunung   Ile Sodo Bera, Woka Ban Nara, Ile Kukun Nubu Woka Bao Baran (Sebuah Gunung yang menjulang tinggi) terletak di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur, berdiamlah penduduk asli Desa Waibao yakni orang- orang dari kampung Riangpuho, Tengadei, Keka dan Lebao yang disebut, Lewo Eko Puken, Tanah Parak Nimun. Penduduk di tempat ini dipimpin oleh Raja Hali Geken Tuan Penana Deran.

Mata pencaharian pokok warga di kampung ini adalah adalah bertani atau bercocok tanam.Pekerjaan di kebun dilakoni oleh laki- laki, sementara perempuan lebih banyak di rumah sebagai ibu rumah tangga juga penenun sarung tradisional. Penduduk asli  pada keempat wilayah perkampungan tradisonal ini, umumnya berasal dari  suku Maran, Koten, Kelen, Hurit (Nitit).
Dikisahkan bahwa, penduduk di tempat ini tidak banyak, dan hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Satu kebiasaan  di tempat ini   untuk mendapatkan sumber api  adalah,  dengan mengambil puntung api dalam bahasa masyarakat setempat “api nutok” antar satu rumah dengan rumah lainnya. Jika satu rumah sudah membuat api, maka oleh rumah tetangga yang lain, bisa mengambil puntung api untuk membuat apinya.

Suatu waktu terdapat  dua orang ibu yang tengah menenun di rumahnya. Satu bernama Nini dan yang lain bernama Bunga. Mereka bertetangga. Hari itu, hujan lebat melanda kampung ini. Karena hujan, dari rumahnya, Nini meminta bantuan kepada Bunga untuk memberikan puntung api agar Ia bisa memasak nasi. Hujan yang terus turun, membuat Nini kemudian mengambil jalan pintas, Ia menyuruh Anjing peliharaannya bernama Samadore, ke rumahnya Bunga untuk mengambil puntung api. Bunga kemudian mengambil puntung api dan mengikatkannya pada ekor Samadore Anjingnya Nini. Anjing berlari, membawa puntung api tersebut dari rumah Bunga ke rumahnya Nini. Saat Anjing kedinginan dan berlari, ekor dan puntung api bergerak ke kiri ke kanan dan seterusnya. Pemandangan ini, oleh Nini, Bunga dan warga lain yang turut melihat ketawa  terbahak- bahak.Bagi mereka, kejadiaan itu langkah dan olehnya mereka merasa lucu membuat mereka terus tertawa sekeras- kerasnya. 

            Tak berselang lama, saat ketawa mereka semakin melengking, kilat dan petir menyambar kemana – aman dari segala arah. Sementara itu, hujan turun semakin lebatnya. Saat bersamaan terdengarlah gemuruh dari puncak Gunung tersebut. Seiring dengan gemuruh dan goncangan yang dahyat itu, gunung Ile Sodo Bera, Woka Ban Nara, Ile Kukun Nubu Woka Bao Baran  roboh. Robohnya Gunung ini kemudian membentuk sebuah kawah  besar. Air hujan yang yang terus menguyur wilayah sekitar kemudian menggenangi kawah tersebut hingga menyerupai sebuah Danau.

Pristiwa ini oleh warga menyebutnya dengan “ be ena – ena, belebo- lebo” (hujan yang lebat membenamkan segalanya diatas muka bumi) Saat pristiwa itu terjadi, banyak warga yang tenggelam dalam kawah itu dan kemudian berubah wujud menjadi “Waja” ( Buaya), ada yang lari dan berubah menjadi batu, yang saat ini ada disekitar Danau, adapula yang lari dan selamat kemudian mendiami wilayah lain pada daratan Flores Timur seperti keturunan suku Ruron di Lama Tou di Kecamatan Lewolema, Beloaja, Laka, dan Muleng di Kecamatan Tanjung Bunga.Penduduk asli yang selamat dari bencana alam ini, kemudian menamai genangan air pada kawah tersebut dengan nama Waibelen. Waibelen terdiri dari dua kata Wai : Air dan Belen: Besar atau luas. Air Waibelen tidak pernah surut atau kering setelah kejadiaan hingga saat ini.
Hingga kini, warga masih meyakini bahwa Anjing yang dipelihara tidak boleh diolok atau ditertawai, kalau tidak maka musibah akan datang.

Ada keyakinan lain bahwa, di dalam Danau Waibelen terdapat leluhur Nenek moyang mereka yang menjelma menjadi buaya. Warga menyebut Buaya yang ada di dalam danau sebagai “Nene”( leluhur) yang bernama Hali Kote Bura. Haram kalau dalam kehidupan bermasyarakat misalnya terjadi pertengkaran lalu diantara mereka dengan emosi mengatakan  mo pe nia mo mai lau Wai bele Waja gaa mo” atau mo pe waja ga’. ( Engkau kalau ke Danau Waibelen Buaya Makan Engkau atau Buaya Makan Engkau), dan terbukti ada sekian warga di Desa Waibao, karena melanggar itu, dimakan oleh Buaya.Ada yang mati langsung di Danau, dan ada yang selamat yang saat ini ada di Desa Waibao.
            Itulah sebabnya, hingga saat ini masyarakat setempat sangat berhati – hati dan menjaga tutur kata yang berisi sumpah  yang berkaitan langsung dengan penyebutan kata waja; buaya. Mereka meyakini bahwa walau buaya – buaya tersebut adalah pemangsa, tetapi ia tidak akan memangsa manusia yang tidak punya kesalahan (Maksimus Masan Kian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar