SEKOLAH RAMAH
ANAK
(Selip Gagasan
Untuk Momen Outdoor Classroom Day)
Oleh
Anselmus Atasoge
(Mahasiswa UIN
Sunan)
Kalijaga Yogyakarta 7 September 2017 menjadi hari spesial bagi ‘dunia
pendidikan’ kita. Ada sekitar 1.965.333 anak yang tersebar di ribuan sekolah di
seluruh dunia mengadakan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Classroom) sembari
memprioritaskan waktu untuk ‘bermain’. Dalam skala nasional Indonesia,
aktivitas ini dilaksanakan oleh 2.168 satuan pendidikan mulai dari tingkat PAUD
hingga SLTA pada 18 propinsi, dengan melibatkan 341.772 anak (Kompas, 8
September 2017).
Secara umum, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas Outdoor
Classroom Day. Pertama, meningkatkan kesehatan anak. Kedua, melibatkan anak
dalam pembelajaran. Ketiga, mendorong keterikatan anak pada alam. Di sana ada
unsur sanitas, partisipatif-kolaborasi dan ekologis.
Pada tataran yang lebih eksistensial-fundamental, aktivitas Outdoor
Classroom mengemban misi pembentukan, penguatan dan pengembangan pendidikan
karakter di sekolah. Landasan hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Insan pendidikan tentu menyambut
baik peraturan ini. Namun, peraturan ini bukanlah jawaban akhir dari seluruh
persoalan melemahnya perhatian lembaga pendidikan terhadap pendidikan karakter
anak di sekolah dan ‘terganggunya’ etika-moral anak-anak bangsa Indonesia.
Sejatinya, peraturan itu lahir sebagai pembuka ruang untuk terciptanya
sinergisitas antara sekolah, keluarga, lingkungan dan atau komunitas-komunitas
pemerhati dunia pendidikan.
Hemat saya, untuk konteks Flores Timur, peraturan ini akan ‘disambut riang’
dengan sedikit gumaman ‘puji Tuhan-syukur alhamdullilah’ oleh
komunitas-komunitas pemerhati dunia pendidikan seperti Komunitas Agupena yang
dipimpin Maksimus Masan Kian, seorang guru muda-energik yang aktif dengan
‘gerakan literasi’ keliling Flotim atau Simpa Sio Institut yang dikoordinir
Fransiskus Padji Tukan, seorang anak muda Larantuka yang bersama
saudari-saudarinya memanfaatkan teras rumah mereka sebagai tempat mendongeng
bagi anak-anak sekampung mereka. Ruang bagi mereka terbuka lebar apalagi jika
sekolah-sekolah mulai membuka ‘gerbang lembaga’, plus ‘gerbang kebaikan hati’
untuk menerima sesuatu yang baru dari ‘dunia luar’ ini.
Namun, idealisme ini tidak sekali jadi. Butuh kerja keras dan komitmen
semua komponen di sekolah dan komunitas-komunitas lainnya. Seperti apa
‘kurikulumnya’, butuh kajian mendalam. Tidak sekedar undang komunitas ini
komunitas itu untuk meramaikan halaman-halaman terbuka di sekolah dengan satu
dua aktraksi yang aktraktif sekedar menarik mata ‘penontonnya’ yang sontak
gembira-ria tanpa tak ingat satupun substansi aktraksi itu.
Perubahan paradigma adalah salah satu di antara komitmen dan kerja keras
itu. Salah satu perubahan paradigma itu adalah pembalikan patokan orientasi
dalam proses pembelajaran dari ‘sesuatu yang berada di luar peserta didik
kepada peserta didik itu sendiri. Dari peserta didik yang hadir sebagai ‘objek’
kepada yang hadir sebagai ‘subjek’!
John Dewey, seorang filsuf dari
Amerika Serikat, aliran pragmatisme memberikan catatan tajamk terhadap sistem
sekolah yang masih memandang peserta didik sebagai objek pasif dalam proses
pembelajaran. Baginya, dalam sistem sekolah macam itu, pusat perhatian berada
di luar anak, seperti guru, buku dan teks-teks bacaan yang pada umumnya jauh
dari pengalaman hidup anak-anak. Di dalam kelas, anak boleh jadi duduk sopan
mendengarkan kisah-kisah dramatik sang guru atau success story iptek-teknologis
di belahan dunia lain yang jauh dari pengalaman empiris anak-anak. Kegagahan
sang guru berbarengan dengan kekaguman semu anak didik bisa jadi membuat
anak-anak semakin menjadi asing di sekolahnya. Mereka boleh jadi menjadi asing
dengan apa yang dipelajarinya sebab isi pelajarannya teramat jauh dari
pengalaman konkretnya. Mereka teralienasi dari dunianya sebab mereka hanya bisa
duduk mendengar dan menghafal kisah-kisah itu.
Penguatan Pendidikan Karakter melalui Outdoor Classroom bagi anak-anak di
sekolah membutuhkan ‘tempat dan suasana’: Sekolah yang Ramah terutama yang
Ramah Anak. Dengan kata lain, lingkungan sekolah yang ramah untuk anak-anak
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program pendidikan karakter.
Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang membangun komitmen secara sadar
untuk berjuang menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan
secara terencana dan bertanggung jawab. Pasal 4 UU No.23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak mencatat bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam konteks dunia pendidikan, Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2013
pasal 1 menyebutkan bahwa pemenuhan Hak Pendidikan Anak adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik pada usia anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Sejatinya, Sekolah Ramah Anak menciptakan suasana yang kondusif agar anak
merasa nyaman dan dapat mengekspresikan potensinya. Agar suasana konduksif
tersebut tercipta, salah satu aspek yang perlu diperhatikan penciptaan dan
pengembangan program sekolah yang sesuai.
Program sekolah seharusnya disesuaikan dengan dunia anak terkhusus
disesuaikan dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak tidak
harus dipaksakan ‘melakukan sesuatu’ melainkan dengan program tersebut anak
‘secara otomatis’ termotivasi untuk mengeksplorasi dirinya. Faktor penting yang
perlu diperhatikan sekolah adalah partisipasi aktif anak terhadap kegiatan yang
diprogramkan itu. Dan, partisipasi itu bertumbuh, hidup dan berkembang karena
sesuai dengan kebutuhan anak.
Menurut Akhmad Solihin, untuk konteks anak-anak pada tingkat PAUD dan SD,
program sekolah lebih menekankan pada fungsi dan sedikit proses. Bukan pada
produk atau hasil. Baginya, produk hanyalah sebuah konsekuensi dari fungsi.
Karenanya, apapun program sekolah yang lengkap dengan aktivitasnya diharapkan
tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan
fisik, mental, maupun sosialnya. Dengan dan melalui aktivitas bermain misalnya,
kualitas-kualitas fisik, mental dan sosial anak dapat difungsikan secara
serempak. Di sisi lain, nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki anak juga
dapat terbina sebagai dampak partisipasi aktif anak.
Untuk menggapai impian itu, sekolah-sekolah harus memiliki kekuatan.
Kekuatan sekolah terutama pada kualitas guru, tanpa mengabaikan faktor lain. Di
sekolah, guru memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pembelajaran yang
bermutu. Untuk di SD dan TK, guru harus memiliki minimal tiga potensi, yaitu:
(1)memiliki rasa kecintaan kepada anak (Having sense of love to the children);
(2) memahami dunia anak (Having sense of love to the children); dan (3) mampu
mendekati anak dengan metode yang tepat (Having appropriate approach).
Kompas, 8 September 2017 dan juga media-media lain, tak memberikan catatan
detail tentang propinsi-propinsi mana sajakah yang melaksanakan aktivitas
Outdoor Classroom Day. Semoga Nusa Tenggara Timur salah satu di antaranya,
terkhusus di Flores-Lembata. Akan tetapi, jika NTT tidak menjadi salah satu di
antaranya, kita akan tetap ‘berbangga hati’ sebab tanpa pencanangan Outdoor
Classroom Day dan segala aktivitasnya, kita sudah ‘akrab’ dengan Outdoor
Classroom itu. Kita berharap, keakraban itu lahir dari program dan rencana yang
matang dan bukannya karena kita tak punya ruang kelas untuk bisa digunakan
sebagai ‘ruang belajar’. Dan, sekiranya impian akan Sekolah Ramah Anak bukan
menjadi sebuah ‘kuk’ baru yang diletakkan pada pundak sekolah-sekolah kita
sebab sejatinya kita adalah makluk dengan kondrat eksistensial sebagai manusia
yang dapat mengenal dirinya secara utuh karena dalam dirinya bersemayam “Roh
Ilahi” yang meresap dalam keseluruhan “jiwanya”, kata St. Agustinus. Roh Ilahi
itulah yang membuat manusia mampu mencintai diri dan sesamanya serta membuat
manusia merasa tenang, damai dan aman. (Ansel
Atasoge –Ketua Seksi Pendidikan dan Pelatihan)