Kamis, 07 September 2017

Lembata Kabupaten Literasi dan Siswa Korban Depresi yang Coba Bunuh Diri

Assalamulaikum, Syalom dan Salam Sejahtera!!!
Saya tidak tahu mengkategorikan tulisan saya ini sebagai apa.
Surat terbuka atau apapun ini isinya saya hanya ingin menulisnya saja.
Semoga yang membaca bisa menjadi perpanjang tangan saya ke pihak manapun yang bisa ambil bagian.

Jakarta sepertinya masih sangat jauh jaraknya dengan Lembata. Sehingga tangan saya tak mampu menyentuhnya secara langsung.
Tuan dan Puanku yang terhormat, masih teringat dengan jelas memory 12 Agustus 2017 yang lalu Kabupaten Lembata dinobatkan sebagai Kabupaten Literasi yang ditandai dengan datangnya seorang duta baca nasional Najwa Shihab bersama beberapa pihak terkait dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktur Kesenian, Restu Gunawan yang digelar acaranya di Kuma Resort Lembata bersama jajaran pemerintahan setempat dimana hal ini disambut baik penuh antusias oleh Bapak Bupati Eliaser Yentji Sunur beserta jajarannya. Dalam konteks ini, Kabupaten Lembata membuka diri sebagai kabupaten Literasi entah kategori apa dan atas dasar apa hal ini dinobatkan. Hemat saya, mungkin pemeritah setempat sudah merasa mampu dan siap menjadikan Lembata sebagai satu-satunya kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sudah bisa berliterasi.
Terlepas dari kabupaten literasi, baru-baru ini sekitar tiga empat hari belakangan ada beberapa media yang intens menulis sebuah persoalan yang terjadi di Lembata. Mirisnya, persoalan itu tidak terlepas dari persoalan pendidikan yakni proses belajar mengajar yang terjadi dalam ruangan kelas salah satu SMP SATAP Waiwaru Desa Todanara, Kecamatan Ile Ape Timur. Bentuk persoalan ini adalah hinaan seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia atas nama Barbara Barek (BB) yang berusia 32 tahun terhadap anak didiknya Fabianus Keko (FK) yang sedang duduk dibangku kelas 3 SMP ,yang berusia 16 tahun. Kasus hinaan yang tidak etis ini membuat FK justru menjadi korban bullying yang mengakibatkan FK juga menjadi korban depresi dan melakukan percobaan bunuh diri dengan meneggak racun. Setelahnya korban di bawa ke RSUD Lembata lalu dirujuk ke RSUD Kupang untuk melakukan penanganan lanjutan pada 31 Agustus yang lalu. Menurut korban dan beberapa saksi siswa dalam ruangan tersebut membenarkan, bahwa sang guru melakukan hinaan dengan menyebutkan korban “…Kau dari keturunan yang tidak jelas dan miskin, dan mengatakan bahwa makanan korban sama dengan makanan babi, bodoh, bahkan tempat tinggalmu pun seperti kandang babi.” Ejekan guru ini sering dilakukannya di depan kelas sepanjang mata pelajaran Bahasa Indonesia. 
(Malu dihina guru, siswa SMP Satu Atap Waiwaru  Ile Ape Kabupaten Lembata minum racun)

Inikah pendidikan karakter yang diusung oleh seorang guru terlepas dari seperti apa riwayat pendidikan dan gelar kesarjanaannya. Yang pasti bahwa Dinas PPO Kabupaten Lembata bertanggungjawab penuh terhadap TU Poksinya. Lembaga pendidikan harusnya mampu menyamai keragaman, menumbuhkan semangat mimpi dan anak didik dalam wujud luhur nilai kebangsaan, juga sebagai perawat kemanusiaan. Tetapi sejauh ini langkah dan niat baik pemerintah dalam mengawal dan memberikan hati untuk bisa dan turut memperhatikan korban pun belum ada. Sampai dengan siang tadi saya menghubungi keluarga korban via telepon dalam hal ini ayahnya, beliau menyampaikan hal yang sama seperti mulanya. Bahwa “Dinas PPO dan Sekolah seperti cuci tangan dengan hal ini. Lalu anak saya sakit, maka kami sudah punya kewajiban untuk membuatnya pulih kembali. Semua ini kami tanggung sendiri. Ada beberapa guru yang kasihan kami, dan mereka kasih uang sumbangan sebesar RP.750.000 tapi dari dinas tidak ada. Lalu kami sudah coba lapor polisi, tapi pak polisi bilang anak saya mencoba bunuh diri jadi tidak bisa tahan ibu guru.” dan pernyataan ini beliau sampaikan saat hendak kembali ke Lembata dengan menggunakan kapal very dari pelabuhan Bolok menuju Lembata lantaran anaknya sudah disarankan dokter untuk bisa rawat jalan di RSUD Lembata. Terkait upaya laporan kepada pihak kepolisian saya pikir kasus ini adalah bagian dari sebab akibat.
Kembali pada konsep kabupaten Literasi. Secara kontekstual saya memahami bahwa literasi adalah gerakan membaca dan menulis seperti kegiatan baca tulis pada umumnya, yang kemudian menjadi gerakan bersama untuk selalu ditindak lanjuti dan dianggap penting dalam membangun pola pilkir dan laku setiap anak bangsa dan element masyarakat. Ini adalah gerakan bersama. Dan semua pihak wajib ambil andil dalam menyukseskannya. Bicara literasi, saya satu orang yang melihatnya bukan hanya sebagai gerakan baca tulis semata. Tapi bagaimana literasi itu keluar dari pesan kontekstualnya bukan hanya menjadikan buku sebagai bahan baca untuk di eja saja, tetapi bagaimana orang peka dengan membaca konteks persoalan sosial mayarakat yang ada di sekitarnya. Membangun pola pikir yang baik. “Membaca adalah melawan, dan menulis adalah menciptakan pergerakan” bahasa yang sama juga saya lontarkan di Aula El tari Kupang waktu Najawa Shihab Sang Duta Baca berkesempatan hadir untuk menggelar Talk Show Catatan Najwa yang bertemakan Literasi Kebhinekaan pada Agustus lalu. Saya merasa bahwa pemerintah kabupaten Lembata belum bisa berliterasi. Kenapa? Karena belum bisa peka dalam membaca konteks persoalan sosial yang ada di masyarakatnya secara utuh. Kejadian di Lembata ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah dan semua element pendidikan yang mengatasnamakan peduli pendidikan. Pendidikan yang mana yang mau dipedulikan? Ketika ada generasi bangsa yang hidup dan mimpinya direnggut oleh sang guru, dan sepanjang hidupnya mengalami depresi dengan perkataan sang guru itu, inilah musuh kita sebenarnya. Pendidikan karakter mana yang harus diperjuangkan? Revolusi mental yang mana yang perlu kita bumikan lagi? Banyak mata hati tertutup. Bahkan orang-orang yang menjadi perpanjang tangan Negara seolah putus.
Dimana Bupati dan Wakil Bupati Lembata?
Dimana Kadis PKO Lembata?
Dimana pihak kepolisian dalam menyikapi kasus ini?
Atau dimana orang-orang yang berteriak Lembata Kabupaten LITERASI dan mengatas namakan diri penggiat Literasi?
Miris!!!
Tapi saya sebagai anak bangsa selalu percaya pada pertiwi.
Di negeri ini, masih ada orang baik, masih ada orang yang punya hati. Sampai pada kesempatan beberapa upaya pernyataan yang bisa direspon baik oleh Bapak Aris Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak. Yang kemudian dengan segala kerelaannya mau mengawal persoalan ini sampai selesai dengan beberapa peryataan sikap dan niatnya untuk membantu korban. Ditindaklanjuti dengan bukti nyata beliau memberikan peryataan pada pers dari sejumlah media hari ini.

Saat ini, harapan saya adalah bagaimana semua kita ikut membuka mata hati, sama-sama berliterasi. Ambil bagian dalam membantu adik dan anak kita ini. Karena sekali lagi, persoalan kemanusiaan itu jauh lebih penting daripada politik. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan itu, mau ada atau tidak sekalipun kalau kita semua punya hati, kita masih bisa berbuat. Mari gandeng tangan, kita kawal kasus ini.
Merdeka!!!
Hormat saya,

Relawan Literasi: Grace Gracella

Tidak ada komentar:

Posting Komentar