Literasi merupakan sebuah rumah besar peradaban
iklim ilmiah. Layaknya rumah besar, tentu butuh fondasi yang kokoh. Nah, iklim
membaca dan menulislah yang menjadi fondasi itu.
Sederhananya, semakin banyak orang membudayakan
kegiatan membaca dan menulis, semakin kokoh rumah besar literasi. Tidak bisa
dipisahkan keberadaan membaca dan menulis dari literasi. Atau, menyepelekan
budaya membaca dan menulis dari gerakan literasi. Itu nonsen. Macam mana rumah bisa berdiri tegar bilamana fondasinya goyah?
Di titik ini, peran para pegiat dan penggiat
literasi untuk mendorong terbentuknya budaya membaca dan menulis hendaklah
diapresiasi secara positif. Sekalipun, upaya menuju ke arah sana, masih banyak
hal yang kurang. Misalnya, pegiat memiliki ribuan energi untuk menggiatkan
budaya membaca dan menulis, sayang kualitas penggiat belum terlalu maksimal. Di
sinilah butuh gerakan, kerja bersama untuk saling melengkapi.
Kembali lagi, budaya membaca dan menulis itu
penting. Sebagai guru SMP, kami menemukan kenyataan di lapangan, masih banyak
siswa yang gagap membaca. Masih mengeja. Kalaupun sudah lancar, masih ada satu
dua huruf atau suku kata yang salah dibaca (disebutkan).
Belum lagi tulisan. Hampir sebagian besar siswa,
bermasalah dalam penulisan. Baik itu bentuk kata, penggunaan huruf kapital,
penggunaan tanda baca, penulisan kalimat, penulisan paragraf, hingga penulisan
wacana.
Itu, adanya pada lingkungan ilmiah. Bagaimana
dengan lingkungan sosial? Tentu tidak jauh beda keduanya. Fenomena ini
menggejala dan merangsek masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Olehnya itu, penumbuhan budaya membaca dan
menulis yang dilakukan oleh para pegiat literasi janganlah dipandang sebelah
mata. Apalagi dilihat sebagai sesuatu gampangan. Ini tidaklah fair. Sebab,
jujur, bergiat di lapangan untuk membudayakan membaca dan menulis tidaklah
gampang. Lihat saja aktivitas bagi-bagi buku, buka pondok baca, pelatihan
menulis, dll. Itu.(Muhammad Soleh Kadir –
Pengurus Agupena Flotim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar