Minggu, 24 September 2017

OPINI: Sekolah Ramah Anak (Selip Gagas Untuk Momen Outdoor Classroom Day)

SEKOLAH RAMAH ANAK
(Selip Gagasan Untuk Momen Outdoor Classroom Day)
Oleh
Anselmus Atasoge
(Mahasiswa UIN Sunan)

Kalijaga Yogyakarta 7 September 2017 menjadi hari spesial bagi ‘dunia pendidikan’ kita. Ada sekitar 1.965.333 anak yang tersebar di ribuan sekolah di seluruh dunia mengadakan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Classroom) sembari memprioritaskan waktu untuk ‘bermain’. Dalam skala nasional Indonesia, aktivitas ini dilaksanakan oleh 2.168 satuan pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga SLTA pada 18 propinsi, dengan melibatkan 341.772 anak (Kompas, 8 September 2017).

Secara umum, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas Outdoor Classroom Day. Pertama, meningkatkan kesehatan anak. Kedua, melibatkan anak dalam pembelajaran. Ketiga, mendorong keterikatan anak pada alam. Di sana ada unsur sanitas, partisipatif-kolaborasi dan ekologis.

Pada tataran yang lebih eksistensial-fundamental, aktivitas Outdoor Classroom mengemban misi pembentukan, penguatan dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Landasan hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Insan pendidikan tentu menyambut baik peraturan ini. Namun, peraturan ini bukanlah jawaban akhir dari seluruh persoalan melemahnya perhatian lembaga pendidikan terhadap pendidikan karakter anak di sekolah dan ‘terganggunya’ etika-moral anak-anak bangsa Indonesia. Sejatinya, peraturan itu lahir sebagai pembuka ruang untuk terciptanya sinergisitas antara sekolah, keluarga, lingkungan dan atau komunitas-komunitas pemerhati dunia pendidikan.

Hemat saya, untuk konteks Flores Timur, peraturan ini akan ‘disambut riang’ dengan sedikit gumaman ‘puji Tuhan-syukur alhamdullilah’ oleh komunitas-komunitas pemerhati dunia pendidikan seperti Komunitas Agupena yang dipimpin Maksimus Masan Kian, seorang guru muda-energik yang aktif dengan ‘gerakan literasi’ keliling Flotim atau Simpa Sio Institut yang dikoordinir Fransiskus Padji Tukan, seorang anak muda Larantuka yang bersama saudari-saudarinya memanfaatkan teras rumah mereka sebagai tempat mendongeng bagi anak-anak sekampung mereka. Ruang bagi mereka terbuka lebar apalagi jika sekolah-sekolah mulai membuka ‘gerbang lembaga’, plus ‘gerbang kebaikan hati’ untuk menerima sesuatu yang baru dari ‘dunia luar’ ini.
Namun, idealisme ini tidak sekali jadi. Butuh kerja keras dan komitmen semua komponen di sekolah dan komunitas-komunitas lainnya. Seperti apa ‘kurikulumnya’, butuh kajian mendalam. Tidak sekedar undang komunitas ini komunitas itu untuk meramaikan halaman-halaman terbuka di sekolah dengan satu dua aktraksi yang aktraktif sekedar menarik mata ‘penontonnya’ yang sontak gembira-ria tanpa tak ingat satupun substansi aktraksi itu.
Perubahan paradigma adalah salah satu di antara komitmen dan kerja keras itu. Salah satu perubahan paradigma itu adalah pembalikan patokan orientasi dalam proses pembelajaran dari ‘sesuatu yang berada di luar peserta didik kepada peserta didik itu sendiri. Dari peserta didik yang hadir sebagai ‘objek’ kepada yang hadir sebagai ‘subjek’!
 John Dewey, seorang filsuf dari Amerika Serikat, aliran pragmatisme memberikan catatan tajamk terhadap sistem sekolah yang masih memandang peserta didik sebagai objek pasif dalam proses pembelajaran. Baginya, dalam sistem sekolah macam itu, pusat perhatian berada di luar anak, seperti guru, buku dan teks-teks bacaan yang pada umumnya jauh dari pengalaman hidup anak-anak. Di dalam kelas, anak boleh jadi duduk sopan mendengarkan kisah-kisah dramatik sang guru atau success story iptek-teknologis di belahan dunia lain yang jauh dari pengalaman empiris anak-anak. Kegagahan sang guru berbarengan dengan kekaguman semu anak didik bisa jadi membuat anak-anak semakin menjadi asing di sekolahnya. Mereka boleh jadi menjadi asing dengan apa yang dipelajarinya sebab isi pelajarannya teramat jauh dari pengalaman konkretnya. Mereka teralienasi dari dunianya sebab mereka hanya bisa duduk mendengar dan menghafal kisah-kisah itu.
Penguatan Pendidikan Karakter melalui Outdoor Classroom bagi anak-anak di sekolah membutuhkan ‘tempat dan suasana’: Sekolah yang Ramah terutama yang Ramah Anak. Dengan kata lain, lingkungan sekolah yang ramah untuk anak-anak menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program pendidikan karakter.
Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang membangun komitmen secara sadar untuk berjuang menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Pasal 4 UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mencatat bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam konteks dunia pendidikan, Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2013 pasal 1 menyebutkan bahwa pemenuhan Hak Pendidikan Anak adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik pada usia anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejatinya, Sekolah Ramah Anak menciptakan suasana yang kondusif agar anak merasa nyaman dan dapat mengekspresikan potensinya. Agar suasana konduksif tersebut tercipta, salah satu aspek yang perlu diperhatikan penciptaan dan pengembangan program sekolah yang sesuai.
Program sekolah seharusnya disesuaikan dengan dunia anak terkhusus disesuaikan dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak tidak harus dipaksakan ‘melakukan sesuatu’ melainkan dengan program tersebut anak ‘secara otomatis’ termotivasi untuk mengeksplorasi dirinya. Faktor penting yang perlu diperhatikan sekolah adalah partisipasi aktif anak terhadap kegiatan yang diprogramkan itu. Dan, partisipasi itu bertumbuh, hidup dan berkembang karena sesuai dengan kebutuhan anak.
Menurut Akhmad Solihin, untuk konteks anak-anak pada tingkat PAUD dan SD, program sekolah lebih menekankan pada fungsi dan sedikit proses. Bukan pada produk atau hasil. Baginya, produk hanyalah sebuah konsekuensi dari fungsi. Karenanya, apapun program sekolah yang lengkap dengan aktivitasnya diharapkan tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan fisik, mental, maupun sosialnya. Dengan dan melalui aktivitas bermain misalnya, kualitas-kualitas fisik, mental dan sosial anak dapat difungsikan secara serempak. Di sisi lain, nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki anak juga dapat terbina sebagai dampak partisipasi aktif anak.
Untuk menggapai impian itu, sekolah-sekolah harus memiliki kekuatan. Kekuatan sekolah terutama pada kualitas guru, tanpa mengabaikan faktor lain. Di sekolah, guru memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu. Untuk di SD dan TK, guru harus memiliki minimal tiga potensi, yaitu: (1)memiliki rasa kecintaan kepada anak (Having sense of love to the children); (2) memahami dunia anak (Having sense of love to the children); dan (3) mampu mendekati anak dengan metode yang tepat (Having appropriate approach).
Kompas, 8 September 2017 dan juga media-media lain, tak memberikan catatan detail tentang propinsi-propinsi mana sajakah yang melaksanakan aktivitas Outdoor Classroom Day. Semoga Nusa Tenggara Timur salah satu di antaranya, terkhusus di Flores-Lembata. Akan tetapi, jika NTT tidak menjadi salah satu di antaranya, kita akan tetap ‘berbangga hati’ sebab tanpa pencanangan Outdoor Classroom Day dan segala aktivitasnya, kita sudah ‘akrab’ dengan Outdoor Classroom itu. Kita berharap, keakraban itu lahir dari program dan rencana yang matang dan bukannya karena kita tak punya ruang kelas untuk bisa digunakan sebagai ‘ruang belajar’. Dan, sekiranya impian akan Sekolah Ramah Anak bukan menjadi sebuah ‘kuk’ baru yang diletakkan pada pundak sekolah-sekolah kita sebab sejatinya kita adalah makluk dengan kondrat eksistensial sebagai manusia yang dapat mengenal dirinya secara utuh karena dalam dirinya bersemayam “Roh Ilahi” yang meresap dalam keseluruhan “jiwanya”, kata St. Agustinus. Roh Ilahi itulah yang membuat manusia mampu mencintai diri dan sesamanya serta membuat manusia merasa tenang, damai dan aman. (Ansel Atasoge –Ketua Seksi Pendidikan dan Pelatihan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar